Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal setiap tahunnya. Pasalnya, biaya pendidikan sekarang ini tidak hanya untuk membayar SPP, namun juga ada uang les, karyawisata, buku tahunan, hingga yang belakangan kini tengah menjadi polemik, yaitu adanya pelaksanaan wisuda bagi jenjang SD hingga SMA.
Hal itu rupanya membuat tak sedikit orangtua resah dan keberatan, sebab biaya wisuda perlu merogoh biaya yang tidak sedikit dan belum lagi setelah wisuda, orangtua harus mempersiapkan biaya untuk anak melanjutkan pendidikan ke jenjang selajutnya.
Di kampung saya dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar warga masyarakatnya telah memprioritaskan pendidikan anak sebagai kebutuhan utama. Namun harap maklum, kemampuan ekonomi sebagian besar warga tersebut hanya mampu membiayai sampai ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat.
Rata-rata lebih memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan akan langsung mendapat pekerjaan setelah lulus nantinya. Jadi harap maklum, di kampung saya tak ada satu pun sarjana.
Siang itu terik matahari terasa membakar kulit. Saya sedang sibuk menyiangi rerumputan di sekitar tanaman kopi sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran.
Pada saat itulah Lek Edi tiba-tiba datang dengan mengenakan kaos kuning lusuh, bercelana jeans yang tak kalah lusuh dan telah dipotong di bagian lutut. Topinya yang berwarna merah dan bergambar logo Tut Wuri Handayani itu agaknya topi Silvi, anak pertamanya yang tak terpakai. Ia membawa sebilah sabit dan sepasang tali bas --tali dari pelepah kelapa muda-- untuk mencari rumput.
Menyadari kedatangannya, saya langsung berhenti menyiangi rumput untuk menyapanya.
Kami pun duduk bersama beralaskan daun pisang kering. Ia lantas mengeluarkan slepen plastik lusuh berisi tembakau kuning, cengkeh ayem, dan kertas sigaret bufalo dari sakunya. Ia tawarkan lintingan itu.
Ketika saya berniat untuk mengambilnya, beberapa uang ratusan ribu turut jatuh yang membuatnya tertawa sambil menjelaskan uang itu uang pinjaman untuk jatah uang saku anak pertamanya, Silvi.
"Duit le utang iki, nggo jatah sangune Silvi (Uang hasil mengutang ini, untuk jatah uang saku Silvi)”, jelas Lek Edi sambil memasukkan kembali uang tersebut ke dalam sakunya.
Meminjam uang untuk biaya sekolah seperti yang dilakukan oleh Lek Edi ini merupakan cerita yang begitu sering saya dengar.
Biasanya saya enggan untuk menanggapinya semakin jauh, entah mengapa mulut saya seringkali terkunci. Namun dalam hati saya selalu merenungkan hal itu.
Dulu orangtua saya kemungkinan besar juga melakukan hal yang serupa. Bahkan tak menutup kemungkinan saya pun akan melakukan hal yang sama.
Cerita-cerita semacam itu selalu diakhiri dengan kata-kata yang membuat trenyuh, "Bot-bote men anak nasibe luwih apik tinimbang aku (Beban berat ini agar nasib anak lebih baik daripada saya).”
Mahalnya Biaya Pendidikan, Sudahkan Pendidikan di Negeri Ini Berkualitas?
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya