Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Saya termasuk anak yang pertama menapaki jenjang SMK yang kemudian diikuti oleh anak-anak yang lebih muda.
Dulu saya merasa begitu senang karena langkah yang sedikit menginspirasi itu. Beberapa orangtua ada yang meminta anaknya untuk saya antarkan mendaftar di tempat saya sekolah.
Seiring berjalannya waktu, kegembiraan itu kian sirna dengan berbagai kenyataan yang terjadi. Rata-rata harapan bekerja setelah lulus tak menjadi kenyataan. Ada yang menganggur, ada pula yang mengikuti jejak orangtuanya menjadi kuli bangunan. Rasa sedih itu kian bertambah tatkala mendengar kisah-kisah semacam cerita Lek Edi itu.
Akhir-akhir ini, biaya sekolah agaknya memang kian meninggi. Namun penghasilan warga Pembinaan masyarakat tak banyak meningkat, stagnan, bahkan ada yang menurun. Meski demikian, SPP, biaya buku, dan biaya kegiatan masih terjangkau oleh warga meski harus membanting tulang. Namun agaknya bukan itu yang menjadi persoalan pokok dan menguras kantong mereka.
Menurut cerita yang disampaikan oleh paman saya atau orang yang saya temui, biaya uang saku dan kegiatan tambahan merupakan anggaran yang memberatkan mereka.
"Nek biaya SPP mono sesasi pisan, ning nek sangu kui kudu metu bendino (Kalau biaya SPP hanya sekali sebulan, tetapi kalau uang saku harus setiap hari),” tutur seorang paman saya, Lek Bani.
"Paling mumet neh nek pas ono kegiatan tambahan, ndadak trus lek kudu mbayar. Nek ra lek mbayar mengko anake ra entuk melu kegiatan, lak yo mesake to? (Lebih memusingkan lagi jika ada kegiatan tambahan, mendadak dan harus segera membayar. Jika tidak segera membayar nanti anaknya tidak boleh ikut kegiatan, kasian kan?),” Lek Bani menambahkan sambil menghela nafas panjang.
Penuturan Lek Bani itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kini kedua anaknya telah lulus dan telah bekerja meski dengan gaji seadanya. Oleh karena itu, kini saya dapat melihat senyum sumringahnya, meski sesekali ia masih bercerita soal sisa utang yang belum terbayar. Mengenai pekerjaan anaknya, ia tak pernah mempersoalkan meski pekerjaan tersebut tak sesuai dengan jurusan waktu ia sekolah.
Perihal mahalnya ongkos uang saku sekolah itu, saya sendiri juga merasakannya. Anak saya yang kini kelas 3 SD, tiap hari uang sakunya Rp 10.000, dibandingkan dengan uang saku ketika saya seumurannya, bedanya begitu jauh.
Dulu ketika ahri-hari biasa, uang saku saya hanya Rp 100. Karena di samping sekolah saya ada pasar pahing dan kliwon, maka pada hari pasaran uang, saku saya bertambah menjadi Rp 200 plus tambahan saku dari nenek saya. Biaya buku atau kegiatan lain lagi, yang ini hampir sama dengan yang diceritakan oleh Lek Bani.
Baru-baru ini di media sosial viral mengenai biaya wisuda sekolah yang tidak wajar. Selama saya sekolah dulu belum mengalami wisuda. Paling-paling perpisahan, jika harus iuran pun, maka sewajarnya.
Satu-satunya cerita wisuda tersebut saya ketahui ketika SD di desa saya beberapa waktu yang lalu mengadakan acara yang serupa. Acara tersebut saya ketahui dari kemenakan yang meminjam jas milik saya. Katanya untuk wisuda. Saya tak menghadirinya, namun sepertinya acara tersebut cukup meriah, dibuktikan dengan adanya pentas kesenian rakyat.
Jika berbicara perihal sekolah dengan segala tetek bengeknya itu, saya selalu teringat sebuah buku yang berjudul Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang.
Menurut buku tersebut, sekolah pada awalnya hanyalah "kegiatan untuk mengisi waktu luang". Kata sekolah berasal dari bahasa latin yakni skhole, scola, scolae, schola, kata tersebut secara harfiah bermakna "waktu luang" atau "waktu senggang". Meski kemudian seiring berjalannya waktu, kegiatan mengisi waktu senggang itu menjadi kewajiban hingga saat ini. Untuk belajar, untuk menimba ilmu.
Menurut saya mengenai mahalnya atau tidaknya biaya sekola, kita pun dapat menilainya dengan objektif. Saat ini dunia sedang berada di era industri. Semua orang saya yakin dapat memahaminya, sebuah produk akan dihargai mahal jika berkualitas.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah pendidikan atau sekolah di negeri ini berkualitas dan pantas dihargai mahal?
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sekolah, Kegiatan Mengisi Waktu Luang Berbiaya Mahal"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya