Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Elon Musk mengambil langkah bisnis yang bisa dibilang sangat brilian ketika melakukan rebranding Twitter menjadi X. Langkah Elon Musk ini dinilai oleh banyak orang sebagai sebuah kesalahan, tetapi ketika tahu apa alasan di balik langkah Elon ini, mereka akan sadar bahwa anggapan mereka itu salah.
Mengapa begitu? Anda akan tahu jawabannya ketika selesai membaca ulasan berikut.
Pertama-tama kita harus memahami dulu model bisnis Twitter sebagai platform media sosial.
Twitter, sebagai platform media sosial harus mampu menarik pengguna baru ke situsnya. Selanjutnya, Twitter harus meyakinkan pengguna ini untuk berinteraksi sebanyak-banyaknya, mendorong lebih banyak sesi engagement dengan menyajikan konten menarik.
Dari situlah Twitter menghasilkan pendapatan, yaitu dengan menjual perhatian dari pengguna kepada para pengiklan.
Model yang sama juga dialakukan oleh perusahaan media sosial lain, seperti Meta yang mengoperasikan Facebook dan Intagram dan bisa tumbuh hingga hampir mencapai valuasi $1 triliun.
Twitter diakuisisi oleh Elon Musk dengan harga hanya $44 miliar. Mengapa Twitter tidak dapat menghasilkan pendapatan sebanyak Meta?
Ada dua alasan utama yang kemungkinan besar menjadi penyebabnya.
Pertama, Twitter memiliki keterbatasan mendasar pada jumlah orang yang bisa ditarik untuk aktif ke dalam platform, terutama karena banyaknya aktivitas negatif di situs ini.
Twitter memiliki pertumbuhan pengguna yang stabil di angka kisaran 300-an juta, sementara platform media sosial lain memiliki pertumbuhan anggota yang jauh lebih cepat dari Twitter.
Padahal pada kenyataannya Twitter adalah platform sosial paling penting di dunia. Twitter adalah tempat para elit dunia berdiskusi secara tertulis dan lisan.
Kedua, Twitter tidak pernah benar-benar sukses memonetisasi 300-an juta pengguna yang dimilikinya.
Hal ini dikarenakan mereka tidak pernah berhasil membangun platform iklan yang tepat. Tentu ini akan menjadi masalah ketika iklan merupakan 90% dari pendapatan Twitter.
Akibatnya, selama satu dekade, pertumbuhan pengguna dan pendapatan iklan Twitter mengalami stagnasi.
Hal ini terlihat dari harga saham mereka yang ternyata pada tahun 2013 lebih tinggi daripada tahun 2023. Sementara selama periode waktu yang sama, harga saham perusahaan lain, seperti Meta bisa meningkat 10 kali lipat.
Sekarang, Twitter sudah berada di tangan Elon Musk. Setelah ia sukses membeli dan memiliki Twitter, ia punya dua pilihan untuk mengembalikan investasinya.
Pertama, tetap menjadi perusahaan media sosial dan terus berusaha mengatasi masalah pertumbuhan pengguna serta platform iklan.
Atau kedua, menggunakan data Twitter dan jaringan sosial yang dimilikinya untuk membangun perusahaan baru yang bisa jauh lebih berharga.
Inilah moment of truth bagi seorang visioner dan pebisnis tangguh seperti Elon Musk.