Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Novaly Rushans
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Novaly Rushans adalah seorang yang berprofesi sebagai Relawan. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Jika Angkot di Bogor Hilang, Apakah Bogor Akan Terbebas dari Macet?

Kompas.com - 30/08/2023, 17:55 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

 

Kota Bogor tampaknya tak lama lagi akan kehilangan julukan sebagai Kota Sejuta Angkot. Pasalnya, Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto telah merancang aturan dan strategi agar kota Bogor memiliki wajah kota heritage.

Ditambah lagi kota ini memang memilki banyak bangunan peninggalan Belanda. Maka dari itu, wajah Kota Bogor harus dibenahi agar sesuai dengan misinya.

Sistem transportasi kota adalah salah satu sektor yang akan dibenahi karena sektor itulah yang memiliki fungsi untuk melayani warga kota untuk mobilitas.

Angkot di Kota Bogor

Sebagai orang yang beraktivitas di Kota Bogor, kehadiran angkot tentu sangat membantu aktivitas sehari-hari. Meski begitu, di sisi lain kehadiran angkot ini juga membuat jalanan di beberapa ruas menjadi macet.

Wacana menggusur angkot sebenarnya sudah dideklarasikan sejak tahun 2019. Salah satu upayanya adalah dengan tidak memberikan izin perpanjangan trayek. Dengan cara ini diharapkan akan menciutkan jumlah angkot yang beroperasi di Kota Bogor.

Ukuran Kota Bogor sendiri tidak begitu besar. Luas Kota Bogor hanya 118,5 km2 dengan enam kecamatan. Penduduk Kota Bogor per tahun 2022 tercatat berjumlah 1.114.018 jiwa.

Dengan jumlah angkot yang tercatat di tahun 2023 sebanyak 3.161 unit, tentu terasa begitu tidak seimbang.

Kota Bogor sebenarnya telah memiliki Bus Kita Trans Pakuan yang melayani 5 koridor. Meski memang keberadaan bus ini belum semasif TransJakarta, namun dengan kapasitas 35 orang tentu bus ini bisa jadi harapan untuk menggantikan peran angkot di Bogor.

Keberadaan Bis Kita memang telah mengalihkan penumpang angkot berpindah transportasi. Hal ini berdampak pada pendapatan para supir angkot.

Upaya Pemkot Bogor mengganti angkot dengan Bus Kita saat ini masih menggunakan skala 3:1, artinya tiga angkot akan digantikan dengan 1 bus.

Angkot yang diganti diutamakan angkot yang sudah berusia lebih dari 20 tahun. Angkot-angkot tua tersebut akan diapkir terlebih dahulu sebelum akhirnya dimusnahkan. Pemusnahan angkot ini harus seizin pemilik angkot.

Kenapa Kota Bogor Sering Kali Macet?

Kota yang dibangun sejak zaman Belanda ini memang sebenarnya lebih diperuntukkan untuk beristirahat. Sejak awal Belanda menaruh perhatian khusus terhadap Kota Hujan ini, maka dari itu sejak abad 18, Belanda sudah membangun jalur kereta dari Batavia menuju Buitenzorg (nama Kota Bogor dalam Bahasa Belanda).

Istana kepresidenan yang ada di Bogor juga dibangun pada zaman Belanda. Dulunya tempat ini digunakan sebagai tempat peristirahatan Gubernur Jenderal Belanda dan pada akhirnya ditempati oleh presiden-presiden Indonesia sejak zaman Bung Karno hingga Jokowi.

Hingga saat ini, Kota Bogor terus bertumbuh menjadi kota penyangga Ibu Kota Jakarta. Hal ini terbukti dari banyaknya dibangun perumahan swasta di Kota Bogor ini. Ditambah lagi akses yang dimiliki Kota Bogor ini tergolong lengkap, ada jalur kereta api, ada jalan tol, hingga saat ini ada jalur LRT.

Meski memang untuk LRT belum menjangkau hingga wilayah pusat kota Bogor, namun paling tidak sebagian wilayah Bogor sudah mendapat akses LRT ini.

Sejarah mencatat, angkot di Kota Bogor baru mengalami peningkatan jumlah yang signifikan pada tahun 2015. Di tahun itu jumlah angkot di Kota Bogor diperkirakan melebihi 4.000-an unit.

Jumlah inilah yang akhirnya membuat permasalahan kemacetan pada jam-jam tertentu di Kota Bogor. Kenaikan jumlah angkot ini juga diikuti dengan semakin masifnya pembangunan dan pengembangan yang ada di Kota Bogor.

Segala pembangunan tersebut otomatis juga ikut menambah jumlah penduduk. Dengan banyaknya penduduk ini, angkot yang bisa menjangkau hingga jalan-jalan kecil di Kota Bogor lantas menjadi primadona.

Akan tetapi, karena terlalu banyaknya angkot di kota ini justru malah menimbulkan masalah kemacetan di jalan-jalan utama Kota Bogor.

Melihat fenomena ini Pemkot Bogor lantas melakukan berbagai upaya untuk mengendalikan jumlah angkot. Mulai dari aturan ganjil-genap, penertiban jalur, hingga aturan-aturan lainnya.

Meski berbagai upaya pengendalian angkot telah dilakukan, permasalahan kemacetan karena banyaknya jumlah angkot yang ada di jalan belum juga bisa teratasi.

Upaya lain ditempuh Pemkot Bogor dengan mendorong angkot keluar dari kota dan dijadikan angkutan pengumpan alias feeder dari wilayah luar Kota Bogor.

Penyebab lain kemacetan yang terjadi di wilayah Kota Bogor adalah volume kendaraan pribadi yang melintas di jalan cukup tinggi.

Sebagai orang yang sering melintasi jalan-jalan utama Kota Bogor, saya mengalami dan melihat sendiri ada banyak mobil yang hanya berisi satu orang.

Selain itu, pedagang-pedagang kaki lima yang nekat memanfaatkan badan jalan juga turut berkontribusi menyumbang kemacetan di Kota Bogor.

Coba saja lihat di jalan sekitar Jembatan Merah, di sore hari wilayah ini dipenuhi banyak pedagang. Selain di di sana, di sekitar Pasar Anyar hingga di jalan sekitar Alun-alun Kota Bogor juga dipenuhi pedagang yang memanfaatkan badan jalan.

Apa yang Harus Dilakukan?

Terkait kemacetan di Bogor ini, sudah banyak modifikasi lalu lintas yang sudah sering dicoba oleh Pemkot Bogor, terutama di jalan sekitar Istana Kepresidenan Bogor dan Kebun Raya.

Mulai dari modifikasi satu arah sehingga kendaraan diarahkan bergerak searah memutari Kebun Raya Bogor, hingga dibuat dua arah dengan memberi pembatas non-permanen dari tali tambang. Namun tetap saja tidak memberi perubahan berarti, Bogor tetap macet.

Lantas, apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi kemacetan di Kota Bogor?

Pertama, pengurangan jumlah angkot alih-alih menghapus angkot secara keseluruhan. Dari segi tarif yang diberlakukan juga bisa diupayakan dengan dihitung berdasarkan jumlah kilometer yang ditempuh, sehingga angkot-angkot tersebut tidak lagi menerima semua ongkos dari penumpang, melainkan dibagi sebagian lainnya dari Pemkot Bogor.

Dengan begini, tidak akan ada lagi angkot yang akan ngetem untuk mencari penumpang melainkan akan terus bergerak mengantarkan penumpang dengan cepat.

Pembayaran pun hanya boleh dilakukan dengan pembayaran cashless dan dikenakan tarif yang seragam, misalnya sebesar Rp1.000 baik jauh atau dekat.

Kedua, angkot di Kota Bogor mesti dibuat menarik dan tidak terkesan kumuh atau kotor untuk mendukung Kota Bogor sebagai kota Heritage.

Hal serupa juga dilakukan di Kota Tangerang dan Kota Padang, di sana angkot tampil menarik dan tidak terlihat kumuh.

Bogor bisa juga ikut menerapkan hal serupa, membawa kesan dan pesan heritage di angkot. Atau bisa juga angkot diterapkan sebagai kendaraan antar jemput pegawai ASN sehingga tidak ada lagi ASN yang menggunakan mobil pribadi yang justru malah berkontribusi menyumbang kemaceten.

Menyediakan armada angkot premium yang memiliki AC dan perangkat sound system mungkin bisa jadi alternatif untuk bisa menarik masyarakat untuk beralih menggunakan angkot.

Ketiga, menyediakan layanan konversi bagi sopir angkot untuk beralih ke profesi lain. Seperti misalnya, sopir bus wisata, petugas tiket, petugas parkir, mekanik perawatan bus, atau pekerjaan lainnya.

Menurut beberapa informasi, hal semacam itu rupanya sudah diupayakan dan dilakukan oleh Pemkot Bogor.

Terkait konversi ini, ada satu tantangan, yakni bagaimana nasib sopir angkot dan pengusaha pemilik angkot. Apabila tantangan ini bisa diatasi dan ditemukan solusi yang baik, maka jumlah angkot akan bisa dikurangi hingga sesuai kebutuhan dan tidak lagi membuat macet karena adanya angkot yang ngetem.

Angkot Tak Ada di Beberapa Kota di Indonesia

Di beberapa kota di Indonesia , Angkot malah tidak pernah menjadi moda transportasi massal. Seperti di Kota Tuban Jawa Timur. Hampir jarang ditemui angkot di kota ini. Tapi kendaraan roda dua sepeda motor numplek banyak sekali.

Di beberapa kota yang ada di Indonesia, angkot justru angkot bukanlah moda transportasi massal andalan.

Kota Tuban misalnya, di kota ini meski terdapat angkot namun tidak banyak orang yang memanfaatkan angkot sebagai moda transportasi utama. Masyarakat Tuban lebih banyak yang menggunakan kendaraan pribadi, seperti motor sebagai alat transportasi utama.

Selain Tuban, Yogyakarta juga merupakan kota yang memiliki sedikit angkot. Meski masih ada, namun sejak tahun 2008 Yogyakarta telah memiliki sistem transportasi lain, yakni Trans Jogja.

Kota lain yang jarang ditemui angkot adalah Denpasar. Sebagai kota wisata, Denpasar tidak memiliki banyak angkot. Masyarakat serta wisatawan di sana lebih senang menggunakan kendaraan pribadi karena bisa dibawa ke tempat mana saja yang mereka mau.

***

Terlepas dari itu semua, angkot memanglah masih menjadi andalan warga di banyak kota di Indonesia, Bogor adalah salah satunya.

Maka dari itu sebenarnya tidak perlu menghapus angkot dari Kota Bogor, cukup melakukan pengendalian yang ketat dengan mengurangi unit-unit angkot yang berusia tua.

Ketika berkesempatan pergi ke berbagai daerah di Indonesia pun, saya menyempatkan diri mencoba angkot di sana.

Seperti ketika berkesempatan pergi ke Ambon, Medan, Bengkulu, Padang, dan beberapa kota lain. Saya menyempatkan diri untuk mencoba angkot-angkot di sana dengan tujuan hanya untuk menikmati suasana kota tersebut.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kapan Angkot akan Hilang dari Kota Bogor?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com