Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tujuannya memang untuk imbauan siapa saja lebih menghemat penggunaan air tanah. Akan tetapi, semangat konservasinya terasa begitu senada dengan aturan yang baru diterbitkan bulan lalu tersebut. Tujuannya sama, penghematan bagi semua pihak yang menggunakan air tanah.
Di sisi lain, ada juga aturan yang mengatur soal pajak daerah pengambilan air bawah tanah dan air permukaan, yakni UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Akan tetapi menurut laman Database Peraturan BPK, undang-undang tersebut sudah tidak berlaku.
Padahal di dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan mengenai pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dan air tanah. Untuk air permukaan dikenakan tarif paling banyak 10%, air tanah paling tinggi 20%. Tarif ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dahulu, pada era sebelum reformasi ketika pajak air masih dikelola penuh oleh pemerintah daerah, dalam rangka perencanaan suatu proyek, kantor tempat saya bekerja mengadakan riset tentang pajak air permukaan dan air bawah tanah di provinsi Jawa Barat.
Dari riset tersebut didapatkan hasil yang ternyata realisasi penerimaan pajak air jauh di bawah potensi. Ada beberapa penyebab mengapa penerimaan pajak air ini jauh di bawah potensi, antara lain sebagai berikut:
Pajak tersebut dikenakan bagi penggunaan air bawah tanah dan permukaan untuk kegiatan usaha. Sementara Keputusan Menteri ESDM Nomor 291.K/GL.01/MEM.G/2023 mengatur pengambilan air tanah untuk kegiatan bukan usaha.
Meski terdapat berbagai peraturan soal penggunaan air tanah, kendati tidak adanya ketentuan biaya dalam penyelenggaraan persetujuan, bisa saja suatu ketika muncul oknum yang menawarkan jalan pintas perolehan izin. Apalagi kalau waktunya mepet. Tentu UUD. Ujung-ujungnya duit!
Terkait pengawasan tentu tidak ada yang dapat menjamin dalam pemeriksaan penggunaan air tanah yang terkena aturan pengurusan izin akan terbebas dari celah penyalahgunaan. Ada kemungkinan terjadi main mata antara pengawas dan pengguna.
Oleh karenanya, pemerintah perlu menggiatkan sosialisasi kepada masyarakat. Hal ini perlu dilakukan secara sungguh-sungguh dan terus menerus.
Tujuannya tentu agar suatu ketika tidak terjadi resistensi dari masyarakat yang tergolong di dalam ruang lingkup aturan Standar Penyelenggaraan Persetujuan Penggunaan Air Tanah.
Dengan pengenalan tepat, masyarakat akan dapat memaklumi bahwa ketika mengambil air tanah melampaui ketentuan, maka wajib mengurus izin ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, sekalipun sumur berada di pekarangan sendiri.
Mudah-mudahan Keputusan Menteri ESDM tersebut menjadi norma perkasa menjaga konservasi air tanah. Terlaksana dengan mulus tanpa penolakan berarti.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ambil Air Tanah di Pekarangan Sendiri Wajib Izin Negara"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.