Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Polusi udara dan Jakarta sejatinya dua perkara yang tumbuh bersama-sama, sebagaimana penyakit pada tubuh yang sembarang makan.
Saat dua perkara itu menjadi hidup yang mencemaskan di hari-hari sekarang ini, sejatinya ia adalah pantulan dari tragedi khas kekuasaan. Pasalnya, sejak tahun 1990-an pun bahaya akan polusi udara sudah pernah diperingatkan.
Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Tanpa Timbal, Ahmad Safrudin, Jakarta dan sekitarnya sejatinya "sudah tamat" sejak UNEP pertama kali membuat pengumuman bahwa Jakarta memiliki kualitas udara yang sudah melebihi ambang batas WHO.
Namun, apa yang malah dilakukan kekuasaan sementara Jakarta adalah sebuah pusat "super-power" tanpa tanding di negeri ini?
Kota megapolitan yang awalnya didirikan oleh Jan Pieterszoon Coen (1621) ini seperti tidak lagi mengenal batas dirinya. Ia telah kehilangan kemampuan untuk mengenali dan memenuhi segala prasyarat yang memungkinkannya bisa survive alias bertahan. Tentu sebagai sebuah sistem kolektif, bukan sistem bagi segelintir.
Di masa-masa seperti sekarang, kapasitas untuk bertahan secara kolektif semakin dibutuhkan demi melewati bumi yang kian hari kian terbakar ini.
Apakah Jakarta telah kehilangan kemampuan mengelola krisis yang diciptakan dirinya sendiri (manufactured crisis)?
Sebagai kota megapolitan, Jakara memiliki berbagai persoalan, mulai dari polusi udara, banjir, kemacetan, tata ruang inklusif, akses air bersih, akses hunian layak, bayang-bayang penggusuran, hingga pengerasan politik identitas.
Jakarta serupa kotak pandora dari perkara-perkara yang gak kelar-kelar. Dari krisis yang berkelindan awut-awutan.
Ironisnya, meski begitu di bawah bumi yang kian membara ini, hanya siklus pemilihan umum (baca: reproduksi elite) yang masih “baik-baik saja.” Di saat bersamaan, hal berikut yang enggan berubah adalah, nasib jelata yang terus saja kere sepanjang musim.
Tidak ada yang baru di bawah matahari!
Hal ini mengingatkan saya akan suatu pertemuan dengan seseorang yang baru pulang dari sekolahnya. Ia mengatakan keheranannya melihat saya di Jakarta. Persisnya, bagaimana caranya kamu bertahan di tempat seperti ini?
Padahal waktu itu kami sedang berbincang di salah satu sudut Atrium Senen yang sejuk.
Ditodong pertanyaan seperti itu, jangankan bisa menjawab, justru saya lebih memikirkan alasan mengapa pertanyaan seperti itu bisa muncul dari kesadaran seseorang yang baru saja kembali dari kota-kota utama di Eropa sana?
"Ada satu ilmu yang tidak saya miliki untuk hidup di Jakarta," katanya. Tentu saja saya lebih penasaran lagi. Kok?