Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
"Ilmu apa, Kak?"
"Manajemen stres." Dia tersenyum, tapi pahit. Sial!
Dari percakapan itu, saya jadi terkenang akan kontrakan kami yang sempit di Lapangan Ros, Jakarta Selatan. Di kontrakan itu, ketika keluar dari kamar mandi, maka akan langsung berada di dapur yang sekaligus berperan sebagai ruang tamu plus kamar tidur ketika malam tiba.
Saya melihat orang-orang yang ada di gang sempit ini telah cukup lama menjadi bagian dari Jakarta. Hari-harinya adalah rutinitas yang normal: mendaki kemacetan sejak pagi dan pulang menjelang atau seusai magrib. Mereka lelah tapi semua itu telah menjadi bagian dari tubuhnya.
Juga kenalan saya, para pengojek yang sehari-hari mangkal pinggiran terminal di Kampung Melayu. Salah satu dari mereka mengajak saya menemui kerabatnya yang juga merantau ke Jakarta sebagai pedagang bubur kacang ijo. Mereka tinggal di sebuah kontrakan berdinding tripleks yang jauh lebih sempit dari yang saya tinggali.
Cerita-cerita mereka adalah kisah dari para petarung; sesuatu yang membuat saya merasa kerdil sebagai perantau ibu kota.
Petarung, spirit yang tidak pernah ingin saya buktikan di Jakarta. Cukuplah saja bahwa saya pernah di sini pada suatu masa.
Memiliki hidup jelata di Jakarta merupakan salah satu sisi dari Jakarta yang selalu menyesakkan. Identitas pinggiran dan kemiskinannya adalah satu perkara kompleks yang dilawannya setiap hari. Tidak terlalu penting dia berasal dari mana.
Akan tetapi persoalannya tidak hanya berhenti pada keterpinggiran dan kemiskinan saja. Saat ruang hidup menjadi panggung bagi pertunjukan banality of evil atau ketika orang-orang jelata yang baik terpaksa menjadi jahat karena hidup yang berat, berserakan, desak-desakan dan tidak jauh-jauh dari bertahan untuk makan, mereka terpaksa "saling memangsa."
Ketika masih di Jakarta, saya pernah menyaksikan sendiri sesama supir yang sudah berbekal besi panjang dan siap untuk baku hantam di sebuah Metromini.
Saat salah satu dari kondektur metromini itu hendak memukulkan besi ke lawannya, dengan polosnya saya teriak, “Bang, jangan main pukul, dong.”
Namun kemudian kawan saya langsung mencubit lengan seraya mengingatkan untuk tidak usah ikut campur, bisa-bisa justru kita yang terkena masalah.
Dengan begitu kita memilih untuk mengabaikan dan tidak membicarakannya. Lantas terlintas di dalam hati, di hari-hari yang lainnya, kita bahkan memilih untuk membenar-benarkan peristiwa seperti itu. Memang sudah seperti itu hukum hidup di Ibu Kota.
Itulah mengapa kewarasan begitu mahal di hidup yang ter-megapolitanisasi. Kewarasan adalah obat kuat yang tidak selalu bisa dikonsumsi elite hingga jelata, dari orang-orang kaya hingga mereka yang sengsara.
Jakarta dan dirinya sendiri merupakan semesta yang diciptakan sejumlah kekayaan, kebijakan, dan perburuan kenikmatan. Namun sayangnya, hal itu tidak untuk semua golongan, bahkan sejak dibayangkan dalam proyek pemerintah kolonial.