Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Namun, sulit itu bukan berarti tidak mungkin untuk dilakukan. Sosialisasi dan pembiasaan harus dilakukan dan dimulai dari pimpinan tertinggi.
Mulailah pemerintah menormalisasi untuk acara-acara di kementerian, jamuan makan di istana, rapat anggota dewan misalnya, dengan hidangan-hidangan pangan lokal non beras.
Kapurung, papeda, barobbo, tinutuan, nasi jagung, sup ubi, mie cakalang, tiwul dan banyak lagi jenis pangan lokal yang dapat menjadi pilihan.
Tunjukkan itu semua pada rakyat dengan mengunggahnya di media sosial. Jika pimpinan memberikan contoh, masyarakat pasti tidak enggan lagi melakukannya.
Salah satu kelemahan yang harus diperhatikan adalah pengolahan bahan makanan menjadi bahan setengah jadi.
Sebagian besar hasil panen tanaman pangan dimakan seperti apa adanya. Jagung dimakan dalam bentuk jagung, singkong dalam bentuk singkong, sagu dalam bentuk pati hasil pemrosesan batang sagu. Pengolahan bahan pangan menjadi bahan yang dapat disimpan dalam jangka panjang, dan diproses dengan mudah, perlu untuk dipikirkan.
Perlu diperkuat industri pangan yang dapat mengubah jagung menjadi butiran-butiran yang lebih mudah dimakan.
Mungkin awalnya dicampur dengan beras dan menjadi beras jagung yang dimakan sebagai nasi jagung.
Singkong diproses menjadi beras singkong. Sebenarnya sudah ada beras singkong yang diproduksi dalam kemasan instan dan dijual di supermarket. Harganya konon lebih mahal daripada beras padi. Per kilo beras singkong dibandrol Rp50.000 (Misbah, 2024).
Harga yang relatif mahal mungkin karena diproduksi dalam jumlah terbatas sedangkan permintaan tinggi. Jika ada dukungan pemerintah pada industri pengolahan pangan, mungkin dapat menekan harga sehingga menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat.
Penutup
Di atas semua konsep tentang bagaimana mencapai swasembada pangan yang sering didiskusikan di ruang-ruang publik maupun dalam opini-opini surat kabar, yang lebih penting lagi adalah iktikad baik dan niat sungguh-sungguh pemerintah dalam mensukseskan swasembada pangan.
Kita bangsa besar dengan jumlah penduduk yang banyak. Janganlah jumlah penduduk tersebut membuat kita goyah, tetapi justru anggaplah sebagai modal dasar.
Jumlah penduduk yang besar adalah sumber tenaga kerja lokal yang bisa kita manfaatkan untuk pengelolaan lahan tanaman pangan. Jumlah penduduk juga merupakan pangsa pasar dari hasil budidaya tanaman pangan tersebut.
Kita kelola dari kita dan untuk kita. Dengan dukungan dari pemerintah mulai dari pimpinan tertinggi sampai tingkat RT, ditambah satker-satker terkait di daerah, maka penulis yakin, Indonesia dapat mencapai swasembada pangan kembali.
Jika tercapai, mampu mempertahankannya hingga hitungan dekade. Semoga. InsyaAllah.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kontribusi Sektor Kehutanan untuk Swasembada Pangan"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.