Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Keinginan untuk mendapatkan banyak like dan komentar sering kali membuat beberapa vlogger menampilkan konten yang hanya mengedepankan sensasi, tanpa memperhatikan apakah makanan yang mereka tampilkan benar-benar sehat dan aman dikonsumsi oleh banyak orang.
Bukan sebuah rahasia jika viralitas menjadi mantra yang membuat seorang vlogger asal-asalan atau tak memiliki informasi cukup untuk sebuah kuliner yang diulasnya.
Salah satu contoh yang sering ditemui adalah promosi makanan dengan kandungan tinggi gula, garam, atau lemak jenuh yang tidak seimbang dengan nilai gizi yang seharusnya diperhatikan dalam pola makan sehat.
Tak jarang juga, tempat-tempat makan yang dipromosikan tidak memenuhi standar kebersihan atau kesehatan, tetapi karena faktor viralitas dan penampilan yang menarik, banyak orang yang tergoda untuk mengunjunginya tanpa mengetahui potensi risikonya. Padahal, makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi seharusnya menjadi prioritas utama, bukan hanya soal tampilan atau kepopuleran tempat tersebut.
Mungkin akan lagi pertimbangannya jika review itu berkaitan dengan eksperimen sosial atau bagian dari upaya mendukung donasi, sehingga faktor kelayakan tempat bisa saja "terabaikan" karena niat utamanya membantu si pedagang.
Meskipun sebagai penonton harus ekstra hati-hati ketika harus mencoba rekomendasi kulinernya.
Bijak Merekomendasi sebagai Prioritas
Sebagai vlogger kuliner yang memiliki pengaruh--semacam publik figur jadinya, seharusnya mereka tidak hanya fokus pada jumlah views atau keuntungan materi dari sponsor, tetapi lebih bijak dalam memberikan rekomendasi yang berguna bagi penonton.
Seharusnya, rekomendasi yang diberikan haruslah mencakup aspek-aspek penting seperti keamanan, kesehatan, dan keterjangkauan. Hal ini bisa dimulai dengan memberikan informasi yang jelas mengenai bahan makanan yang digunakan, kebersihan tempat makan, dan pengaruh konsumsi makanan tersebut terhadap kesehatan jangka panjang.
Apalagi dengan kondisi dimana komposisi makanan yang tidak sehat semakin banyak--terutama penggunaan bahan pengawet, kadar gula tinggi atau jenis gula dalam versi lain yang juga tidak sehat bagi penderita penyakit tertentu.
Selain itu, vlogger kuliner juga mesti lebih terbuka dalam memberikan kritik yang konstruktif terhadap tempat makan yang mereka ulas.
Bukan berarti mereka harus selalu memberikan ulasan negatif, tetapi lebih kepada transparansi dalam menyampaikan kelebihan dan kekurangan dari setiap tempat makan atau jenis kuliner yang direkomendasikan.
Dengan cara ini, penonton akan merasa lebih bijak dalam memilih makanan, tanpa terjebak dalam sensasi yang hanya mengutamakan viralitas semata.
Keterjangkauan harga juga menjadi hal yang tak kalah penting. Bukan hanya makanan dengan harga mahal yang bisa disebut berkualitas, tetapi banyak makanan sehat dan enak yang bisa ditemukan dengan harga yang sangat terjangkau.
Oleh karena itu, vlogger kuliner harus memperkenalkan kepada penonton bahwa makan sehat tidak selalu berarti mahal, dan banyak tempat yang menawarkan makanan berkualitas dengan harga yang ramah di kantong.