Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bagi sebagian ASN, surat mutasi bukan sekadar surat perintah kerja. Di balik lembaran kertas itu, ada rumah yang harus ditinggalkan, anak-anak yang bertanya “kenapa harus pindah?”, dan pasangan yang harus mulai lagi dari awal di tempat baru.
Kebijakan mutasi memang dibuat untuk pemerataan, tapi di lapangan, ia juga menjadi ujian sosial dan emosional bagi mereka yang mengalaminya.
Bayangkan, Anda sudah terbiasa bangun pagi, menyusuri jalan yang sama menuju kantor, sarapan di warung langganan, anak-anak sudah betah di sekolah, dan tetangga sudah seperti keluarga sendiri.
Lalu tiba-tiba, datanglah surat keputusan: Anda harus pindah ke daerah lain, mungkin jauh dari kota tempat Anda tumbuh. Tidak hanya pekerjaan yang berganti, tapi juga seluruh ritme kehidupan.
Mengapa ASN Sering Harus Pindah Tugas
Kebijakan mutasi ASN sejatinya merupakan bagian dari sistem pemerintahan yang ingin memastikan pemerataan tenaga ahli, efisiensi birokrasi, serta peningkatan kompetensi pegawai.
ASN yang berpengalaman di satu wilayah diharapkan bisa berbagi pengetahuan dan keterampilan di daerah lain.
Melalui mekanisme seperti mutasi jabatan pimpinan tinggi (JPT) dan pengembangan sistem digital seperti I-Mut dalam jaringan SIASN (Sistem Informasi ASN), pemerintah berupaya agar proses mutasi lebih transparan, berbasis data, dan tidak lagi bergantung pada “kedekatan” personal semata.
Namun, di balik tujuan baik itu, ada sisi manusia yang kerap luput diperhatikan. Setiap mutasi berarti ada keluarga yang harus menyesuaikan diri, ada pasangan yang mungkin harus meninggalkan pekerjaan, dan ada anak-anak yang harus beradaptasi di sekolah baru.
Ketika Adaptasi Menjadi Ujian Sosial dan Emosional
Pindah tugas antar daerah sejatinya mengubah banyak hal—bukan hanya rutinitas kerja, tapi juga kehidupan sosial.
Lingkungan baru berarti jaringan sosial yang baru pula. ASN dan keluarganya perlu waktu untuk membangun relasi, memahami budaya setempat, dan menemukan rasa nyaman di tengah masyarakat yang berbeda.
Bagi anak-anak, pindah sekolah bisa menjadi pengalaman yang cukup berat. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kurikulum, teman, bahkan bahasa lokal yang mungkin terdengar asing. Tidak jarang, orang tua ikut merasakan kecemasan yang sama.
Sementara itu, pasangan ASN juga tidak selalu punya kemewahan untuk sekadar “ikut pindah”. Bagi mereka yang bekerja, mutasi berarti kehilangan pekerjaan, memutus jejaring profesional, atau terpaksa mulai dari nol. Ini menciptakan beban ganda: ekonomi dan emosional.
Belum lagi urusan tempat tinggal. Di daerah yang infrastrukturnya terbatas, mencari rumah atau kontrakan yang layak bisa menjadi tantangan tersendiri.