Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Antara Penghapusan PR dan Pembinaan Karakter Peserta Didik di Kampung"
Sebagai seorang guru, umumnya kita akan memberikan sebuah Pekerjaan Rumah (PR) bagi siswa sebelum mereka kembali ke rumah.
PR adalah tugas mandiri terstruktur dari guru untuk dikerjakan di rumah sebagai latihan tambahan akademis siswa.
Tujuan guru memberikan PR bagi siswa adalah agar siswa mampu membuat kilas balik dari semua materi pelajaran yang sudah diterima di sekolah.
Hal ini berlaku di setiap sekolah berdasarkan ketentuan dalam kurikulum yang diterapkan.
Meski begitu, akhir-akhir ini muncul perdebatan pemberian PR bagi siswa terutama terkait nilai output-nya bagi siswa.
Dari perdebatan itu ada beragam landasan logis yang ditonjolkan, seperti sekolah sebagai locus akademis utama bagi siswa, sementara rumah adalah tempat siswa untuk menimba dan menanamkan pendidikan karakter.
Pemisahan ini pun semakin diperkuat melalui sentilan Presiden Joko Widodo bahwa PR bagi para siswa dapat berupa kegiatan sosial.
Di Surabaya pemberian PR bagi siswa akan digantikan dengan tambahan jam belajar untuk pendalaman karakter siswa.
Selain di Surabaya, larangan memberikan PR pada siswa juga telah resmi diaktualisasikan di setiap jenjang pendidikan di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat melalui Surat Keputusan Bupati Purwarkarta tahun 2016.
Bupati Purwakarta saat itu, Dedi Mulyadi mengatakan bahwa materi akademis sebaiknya dituntaskan di sekolah, tidak di rumah. Selain itu menurutnya PR bagi siswa itu mestinya hanya bersifat penerapan ilmu yang diajarkan di sekolah.
Dari contoh penghapusan pemberian PR bagi siswa di Surabaya dan Purwakarta, saya coba membaca konteks atau situasi pendidikan yang sedang terjadi di pelosok negeri terutama di kampung halaman saya.
Situasi pembelajaran sekolah di kampung tentu sangat jauh berbeda dengan di kota. Perbedaan itu terutama terlihat dari segi kelengkapan sarana dan prasarana juga kesadaran masyarakat terkait proses pendidikan yang masih tradisional.
Berangkat dari keterbatasan itulah, maka PR sejatinya menjadi kunci utama bagi guru mata pelajaran untuk mengetahui motivasi dan kemampuan siswa dalam belajar.
Ditambah lagi adanya persepsi tunggal tentang tanggung jawab. Bagi masyarakat kampung masih ada anggapan umum bahwa sekolah adalah tempat bagi anak menimba ilmu pengetahuan serentak sebagai tempat pembinaan karakter.