Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pengalaman bekerja sebagai korektor bahasa di Lampung Post pada September 2004 membuat saya mengerti bahwa sebagai korektor bahasa saya memiliki tugas memperbaiki naskah yang dikirim redaktur.
Padahal saya sendiri bukan merupakan sarjana bahasa. Akan tetapi, memang sebeum mulai bekerja tahun 2004, saya sudah rajin menulis opini, cerita anak, resensi buku, dan beberapa artikel lain sebagai penulis lepas sejak tahun 1999.
Sebagai seorang korektor bahasa, tugas utama saya adalah memperbaiki naskah kiriman redaktur yang dibuat oleh reporter. Sebenarnya naskah yang telah disunting oleh redaktur mestinya telah ideal atau dalam media massa biasa disebut press claar.
Namun, sebagai sebuah media massa arus utama tetap memiliki bagian khusus untuk melakukan penyempurnaan bahasa. Sebutannya macam-macam, selain korektor bahasa ada juga redaktur bahasa dan penyelaras bahasa.
Ada sebuah celetukan seorang teman yang mengatakan bahwa korektor itu sebenarnya akronim dari ngoreksi yang kotor-kotor.
Memang kalau dipikir-pikir ada benarnya. Sebagai korektor bahasa adalah merapikan semua tulisan. Ia adalah orang terakhir yang menjaga tata bahasa berita atau artikel lain di koran.
Mulai dari melihat judul, apakah logikanya sesuai atau tidak. Lalu konjungsinya tepat atau belum. Kemudian juga soal pilihan diksinya tepat atau tidak. Selain itu juga apakah semua itu sudah sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia atau belum.
Hal yang paling penting selanjutnya adalah memastikan tulisan itu tetap enak dibaca meski taat pada pakem bahasa yang ada.
Jika pekerjaan sebagai korektor bahasa zaman sekarang masih ada, tentu pekerjaannya akan semakin sulit.
Pasalnya, zaman sekarang semakin banyak masukan bahasa asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia.
Orang sekarang lebih suka pakai diksi "apresiasi" ketimbang memuji. Padahal asal muasal "apresiasi" adalah dari kata negerinya mendiang Ratu Elisabeth: apreciate.
Belum lagi memadankan kata asing atau frasanya ke dalam bahasa Indonesia. Media massa kita terbilang sukses ketika memopulerkan gawai untuk gadget, petahana untuk incumbent, daring (dalam jaringan) untuk online, luring (luar jaringan) untuk offline, unggah untuk upload, unduh untuk download, dan banyak lainnya.
Meski memang tidak semua kata atau istilah dalam bahasa asing mudah ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia yang pas. Misalnya seperti garden atau park yang dalam bahasa Inggris memiliki makna berbeda, namun dalam bahasa Indonesia keduanya sama-sama berarti “taman”.
Di sisi lain media masa juga menurut saya belum terlalu sukses memopulerkan istilah lokakarya sebagai pengganti untuk istilah asing workshop dan peluncuran untuk launching.
Sebab, hampir di semua tempat yang sedang mengadakan kegiatan peluncuran produk baru, masih menggunakan istilah launching alih-alih peluncuran. Bahkan tak jarang juga ada yang salah menulisnya menjadi “lounching”.