Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bayangkan kita sedang asyik berselancar di internet, mengecek media sosial, atau membeli kebutuhan sehari-hari secara online. Tiba-tiba, muncul berita besar yang menggemparkan: TikTok, aplikasi yang kita kenal sebagai platform video pendek, telah mengakuisisi 75% saham Tokopedia, salah satu e-commerce terbesar di Indonesia.
Nilainya mencapai 1,5 miliar dolar AS, atau sekitar 23,5 triliun rupiah. Ini bukan hanya kolaborasi antara dua perusahaan besar, tapi juga tentang bagaimana keputusan ini akan mempengaruhi cara kita berbelanja, berinteraksi, dan menjalani hidup sehari-hari.
Meski terlihat begitu menarik dan sangat menjanjikan, bergabungnya dua raksasa ini memunculkan sebuah pertanyaan, bagaimana nasib data pribadi kita nanti? Apakah akan aman di tangan mereka? Bagaimana juga situasi ke depan soal persaingan e-commerce Indonesia? Apakah bakal lebih ketat atau malah sebaliknya?
Kejutan akuisisi TikTok terhadap 75% saham Tokopedia tentu akan membawa perubahan cukup besar. Dari yang sebelumnya kita hanya berbelanja atau menonton video, sekarang kedua aktivitas itu tak hanya terintegrasi tapi juga bisa dilakukan bersamaan.
Akan tetapi, semua kemudahan-kemudahan itu dibayang-bayangi oleh kekhawatiran akan nasib data pribadi kita. Dengan bergabungnya dua raksasa ini, akan ada kemungkinan data kita, seperti kebiasaan kita menonton video, akan dikelola oleh pihak yang lebih besar dan bisa jadi lintas negara.
Artinya, apakah kita sebagai pemilik data bisa nyaman dan bisa menerima semua itu dengan tenang? Bagaimana cara kita memastikan bahwa semua data kita tetap aman dan tidak akan disalahgunakan?
Bergabungnya dua raksasa ini juga otomatis membuat pemerintah kita bekerja keras untuk bisa mengatur dan memastikan hal itu tidak akan mengancam kedaulatan data serta ekonomi digital kita.
Sebab, pemerintah lah yang berperan menjaga keseimbangan dengan memastikan semua berjalan adil dan tak ada satu pihak pun yang lebih berkuasa dari yang lainnya di dunia digital kita.
Akuisisi ini membawa perubahan pada TikTok Shop yang sebelumnya menghadapi batasan sebagai kantor perwakilan perdagangan asing di Indonesia.
Batasan ini ada karena pemerintah kita memiliki aturan yang membedakan antara social commerce dengan media sosial. TikTok pada awalnya hanya berstatus media sosial, jadi ia tidak boleh memfasilitasi transkasi pembayaran pada sistem elektroniknya.
Tujuan diberikannya batasan ini semata untuk menjaga keseimbangan di pasar e-commerce. Di satu sisi, mungkin kita merasa kecewa karena tidak bisa berbelanja langsung di TikTok Shop.
Akan tetapi di sisi lain, ini adalah upaya pemerintah untuk melindungi pasar lokal (UMKM) dan memastikan persaingan yang adil.
Sebelum akhirnya menjadi kenyataan, berbagai spekulasi muncul terkait bergabungnya TikTok dan Tokopedia. Banyak orang menduga TikTok hanya akan membeli sebagian besar saham Tokopedia.
Namun, apa yang terjadi kemudian ketika diketahui TikTok membeli 75% saham Tokopedia, tentu hal ini sangat mengejutkan.
Dengan kolaborasi ini, TikTok tak hanya berperan sebagai tamu di dunia e-commerce Indonesia, melainkan menjadi pemain utama.