Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak sebelum kemerdekaan Indonesia, ada sebuah desa kecil yang bernama Tampelas. Pada masa lalu, menurut cerita para tetua kampung, pendahulunya pernah diserang sebuah wabah penyakit.
Maka dari itu mereka memutuskan untuk pindah ke wilayah yang sekarang menjadi desa definitif. Desa yang lama disepakati sebagai pekuburan dan dikenal dengan nama Tampelas Usang.
Pada masa sekarang, Desa Tampelas terbagi menjadi dua Rukun Tetangga (RT) dengan pemukiman yang panjangnya hanya sekitar 1 kilometer di pinggir Daerah Aliran Sungai (DAS) Katingan, Kalimantan Tengah. Jalan desanya masih menggunakan jembatan kayu yang menghubungkan rumah-rumah panggung.
Berdasarkan data Monografi desa, jumlah penduduk Desa Tampelas berjumlah tidak lebih dari 400 jiwa. Pada hari-hari biasa, jumlah ini bisa banyak berkurang.
Mayoritas sumber penghidupan mereka berasal dari aktivitas mencari ikan di sungai, mengelola kebun, bekerja sebagai buruh perkebunan sawit, bekerja di tambang tradisional atau bekerja serabutan.
Selain itu, ada juga warga Tampelas yang memutuskan merantau, terutama mereka yang masih berusia muda. Kebanyakan dari mereka pergi merantau ke ibu kota kabupaten, Kasongan, yang bisa ditempuh dengan perahu kelotok dan bisa dilanjut menggunakan mobil dari Bahun Bango.
Tahun 2014 ada permulaan saya berjumpa dengan orang-orang Tampelas. Perjumlaan ini membantu saya memahami keseharian masyarakat Dayak yang hidup di pinggiran sungai.
Dengan hidup bersamma, saya tak hanya diajak bergaul, mengenal mayoritas penduduk Tampelas yang tidak begitu banyak, melainkan juga diangkat menjadi anak oleh salah satu warga senior di sana.
Momen yang paling substansial dari perjumpaan saya dengan mereka adalah berkesempatan mendengar kisah-kisah para tetua dan anak-anak muda tentang sebuah zaman.
Zaman itu lazim disebut sebagai zaman kayu, di sekitar 1990-an hingga pertengahan 2000-an. Zaman ketika banyak perusahaan besar mempekerjakan orang-orang dari luar dan dari kampung untuk menebang kayu.
Tak hanya yang memiliki izin, segala macam kayu termasuk yang tak berizin pun ditebang. Oleh karenanya, hal ini membuat segala yang legal dan ilegal bercampur sedemikian liarnya.
Pada masa-masa ini, kebanyakan desa di DAS Katingan tidak pernah sesepi sekarang. Hal ini disebabkan selain banyak orang dari berbagai macam latar, ada juga aktivitas hilir mudik membawa kayu keluar masuk hutan yang menjadi pemandangan umum harian. Selain itu ada juga keramaian lalu lintas perahu dan speedboat di sungai.
Dengan segala keramaian ini, uang tunai begitu mudah didapat walau risikonya cukup tinggi. Pasalnya ada bos-bos kayu yang menyewa rumah-rumah warga Tampelas, tempat yang sama dengan para pekerja tinggal. Di samping itu ada banyak juga warga desa yang terlibat dalam aktivitas penebangan kayu.
Dengan uang tunai yang mengalir dari hutan-hutan yang tumbang, kesenangan dan kenikmatan turut mengalir ke desa.
Sebagai misal di Desa Tumbang Bulan, tetangga Tampelas yang berada agak jauh di bagian hilir. Seorang kawan yang bermukim di sini berkisah jika desanya pernah dijuluki sebagai Texas-nya Mendawai.
Mengapa Texas? Karena uang dari penebangan kayu membuatnya berkembang sebagai pusat hiburan kecil yang nyaris tak pernah tidur. "Siang dan malam nyaris tak bisa dibedakan, sama ramainya," kenang kawan itu.
Beda Tampelas beda juga desa tetangga, Galinggang. Desa dengan 10 RT ini pernah mendatangkan artis ibu kota, seperti Doyok untuk sekadar berdangdut di sana.
Akibat terlalu banyaknya uang pada zaman itu, uang sering dijadikan alat taruhan saat ada kompetisi sepak bola antar desa di musim perayaan ulang tahun kemerdekaan Indonesia. Selain itu banyak juga yang menggunakannya untuk tujuan kesenangan lain yang berkaitan dengan hiburan malam.
Meski begitu, banyak dari desa tadi yang tak memiliki cukup listrik, tak ada fasilitas air bersih layak, dan tak ada fasilitas komunikasi yang pantas.