Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Saat saya menulis cerita ini, seorang kawan di Katingan mengabarkan jika Tampelas, Galinggang dan Tumbang Bulan masihlah tipe desa tanpa akses internet. Ironis.
Buat saya, ada satu pertanyaan yang menghantui proyek-proyek pemberdayaan masyarakat pinggiran sungai dan hutan.
Andai kita memilih agenda besar masyarakat Tampelas adalah memulihkan sumber-sumber penghidupan yang terdegradasi sekaligus menjaga kelestarian ekosistem rawa gambut yang tersisa, manakala kita membicarakan internet cepat dan gratis untuk warga desa, bagaimanakah dukungan teknologi ini mendorong kemajuan?
Kemajuan macam apa yang dibayangkan orang-orang di pusat pertumbuhan bagi orang-orang desa yang tak pernah mereka temui; kemajuan versi siapa?
Satu hal yang kita bisa setuju bahwa internet adalah "The Great Equalizer", penyetara yang hebat. Dengan fasilitasi internet, umat manusia kekinian tersambung dengan bermacam informasi dari segala macam sumber.
Adanya akses internet yang bagus, banyak orang bisa menelusuri pengertian yang segera atas hal-hal yang sebelumnya tidak bisa serta merta bekerja.
Tak sebatas itu, dalam keberlimpahan yang disediakan digitalisme, ada ancaman terhadap data pribadi yang disebut sebagai "The New Oil" alias minyak baru yang mendatangkan profit ekonomi.
Secara kolektif, internet berpotensi sebagai "senjata melawan ketimpangan". Sekurangnya memfasilitasi kesenjangan informasi.
Keberlimpahan informasi yang difasilitasi internet (seharusnya) bisa membantu pemerintah dan warga desa menyusun rencana pembangunan yang mewujudkan visi hidup bersama. Akan tetapi, kita paham benar, proses ini tidak bisa berlaku otomatis.
Dalam kasus Desa Tampelas, pertanyaannya lebih spesifik yang bisa diajukan, misalnya seperti bagaimana penggunaan internet membantu Lembaga Pengelola Hutan Desa membangun sistem monitoring kawasan hutan yang secara real-time memantau perubahan situasi harian di wilayah kelola yang mencapai ribuan hektar?
Pertanyaan di atas bakal menuntun kita pada tantangan proses yang berlapis.
Dalam pemenuhannya akan ada banyak sekali prasyarat, baik sosial, kultural, tidak sebatas infrastruktural, yang mesti dibenahi terlebih dahulu. Jadi, perkara kecepatan, ketersediaan dan akses barulah satu hal yang justru bisa bekerja kontra-produktif.
Jika kecepatan dan ketersediaan internet bagi warga desa tidak direncanakan dalam penguatan otonomi desa yang inklusif, berkemakmuran, dan berkelanjutan, sepertinya kita bakal berhadapan dengan "bencana internet".
Bencana yang dimaksud meliputi ketersediaan internet yang menjangkau hingga ke kampung-kampung dan pedalaman, justru malah menjadi ladang bagi pornografi, terutama terhadap golongan remaja hingga anak-anak.
Internet barulah daya dorong, katalisator.
Ia jelas membutuhkan banyak prasyarat agar menjadi bagian dari terciptanya kesetaraan, kemakmuran, dan keberlanjutan di desa-desa yang masih terisolasi di dunia yang dilipat oleh kecepatan informasi.
Ironisnya, proses pemenuhan syarat yang dimandatkan cita-cita kemerdekaan itu tidak selalu bisa, kalau bukan gagal, dipenuhi oleh negara beserta infrastrukturnya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Membaca Desa, Internet, dan Kemajuan"