Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Lantas, ketika negara hadir untuk memberantas penebangan liar (illegal logging) di tahun 2011, hidup sehari-hari warga lokal seperti terbebas dari ilusi keberlimpahan materi.
Orang-orang seolah dilempar kembali kepada kemiskinan dan keterbatasan daya dukung penghidupan.
Sebagaimana dalil yang dikenal dalam teori "Kutukan Sumberdaya Alam" (Resource Curse): wilayah kaya sumber daya alam namun penduduknya tak keluar dari garis kemiskinan.
Di Tampelas dan Galinggang, saya menghabiskan hampir 2 tahun menetap (2014-2016).
Tahun 2021 lalu, saya berkesempatan kembali ke Tampelas untuk penugasan pendampingan yang difasilitasi Yayasan Puter Indonesia. Yayasan ini jugalah yang memungkinkan saya datang ke DAS Katingan di 7 tahun yang lalu.
Apakah Desa Tampelas banyak berubah sesudah melewati dua kali Pemilihan Presiden?
Secara infrastruktur, ada satu perubahan mencolok. Kini Tampelas sudah memiliki listrik desa sendiri buah dari kolaborasi Pemerintah Desa dengan PT Rimba Makmur Utama (RMU).
RMU adalah pemegang izin restorasi hutan rawa gambut yang konsesinya terletak di antara Kabupaten Katingan dan Kabupaten Kotawaringin Timur.
Di masa sekarang pula pemerintah desa kini telah mendapatkan izin mengelola hutan atau yang dikenal dengan Perhutanan Sosial. Oleh karenanya, sekarang telah berdiri Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).
Dengan kewenangan yang termuat dalam Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), diharapkan pemerintah dan warga Tampelas bisa mengelola hutan dalam agenda yang saling menguatkan.
Agenda yang dimaksud adalah konservasi atau pelestarian dan pemulihan kawasan hutan terdegradasi serta agenda peningkatan kesejahteraan ekonomi.
Agenda Perhutanan Sosial menjadi sentral karena wilayah Tampelas berupa kawasan sungai dan hutan rawa gambut yang berbatasan dengan Kawasan Taman Nasional Sebangau di Timur juga konsesi perkebunan Sawit di sebelah Barat.
Boleh dikata, nasibnya berada dalam tegangan agenda konservasi versus perkebunan.
Faktualitasnya, banyak areal hutan Tampelas sudah terdegradasi karena terdampak perburuan kayu di masa lalu serta kebakaran hutan dan lahan (karhutlah) yang berulang, terutama di musim kemarau.
Sementara ekosistem kunci seperti danau, tegakan hutan yang menjadi jalur perlintasan orangutan dan bekantan di sebelah Timur, serta sumber-sumber perikanan tangkap juga dalam status terancam. Apalagi bila tidak dilindungi dengan "cara-cara ekstra".
Persoalannya, kepentingan yang bersifat makro-lanskap di atas bukanlah perkara yang bisa serta merta disepakati seluruh warga. Konsekuensinya, ideal yang termandatkan dalam skema Perhutanan Sosial belum tentu selaras dengan agenda pembangunan desa.
Belum lagi proses ini cenderung terdisrupsi oleh siklus reproduksi kekuasaan di level desa.
Tentu saja "dilema ekologi" Tampelas barulah satu perkara dari hidup sehari-hari masyarakat pinggiran sungai Katingan, Kalimantan Tengah.
Masih banyak masalah yang berkelindan dengan ketaksetaraan akses pendidikan, layanan air bersih dan MCK (ingatlah jika mayoritas warga desa masih melakukan aktivitas domestik dengan bergantung pada aliran sungai yang keruh sepanjang tahun), dan akses layanan kesehatan yang memadai, juga layanan komunikasi yang murah dan setara.