Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hadirnya sejumlah besar influencer di era digital kini menjadikan dunia maya kaya akan informasi yang beragam. Setiap influencer memiliki pendekatan unik dalam berkomunikasi dan tidak jarang mereka menggunakan strategi seperti pamer harta atau gaya hidup mewah yang terasa jauh dari realitas kebanyakan orang.
Ada banyak konten dari influencer tadi yang pada akhirnya terungkap sebagai hasil manipulasi alias dibuat-buat semata untuk menarik perhatian.
Akan tetapi di sisi lain, ada juga konten yang jujur dan apa adanya. Bagi mereka yang menarapkan hal ini, pada akhirnya banyak yang menunjukkan versi terbaik dari dirinya dalam sebuah konten.
Seiring dengan fenomena ini, konsep personal branding menjadi semakin populer, yakni sebuah konsep yang membahas proses membangun dan mengelola citra atau reputasi diri.
Tak bisa dimungkiri, di era digital saat ini hasrat untuk menampilkan diri seolah menjadi hal utama. Dorongan untuk membuat konten dengan konsep menampilkan persona diri, pencapaian, dan kesuksesan lainnya yang kita anggap lebih menonjol dari orang lain secara online, dewasa ini cukup tinggi.
Akan tetapi, dengan konsep seperti itu lantas di mana batas antara personal branding dengan sikap pamer alias flexing? Apakah kedua hal itu layaknya dua sisi mata uang atau justru sesuatu yang secara fundamental berbeda?
Personal branding adalah proses untuk membangun reputasi positif dan kredibel seputar keterampilan, keahlian, atau nilai-nilai yang dimiliki seseorang.
Fokusnya adalah menjadikan diri sebagai otoritas di suatu bidang atau ceruk keahlian. Sebaliknya, flexing cenderung memamerkan harta benda, prestasi, atau gaya hidup mewah untuk mendapatkan pengakuan sosial dan kekaguman.
Dalam hal tujuan, personal branding berusaha menambah nilai pada kehidupan audiens dengan menyajikan informasi, inspirasi, atau solusi bermanfaat.
Sebaliknya, sikap flexing cenderung memunculkan perbandingan dan rasa iri, menciptakan kesenjangan antara influencer dan audiens.
Personal branding yang autentik menyoroti perjalanan hidup dengan segala suka duka, pembelajaran, dan perjuangan. Kontennya fokus pada berbagi wawasan, keahlian, dan pengalaman berharga. Di sisi lain, flexing melibatkan hal berlebihan, kadang palsu, untuk menciptakan ilusi kemewahan atau kesuksesan tanpa memperlihatkan sisi lain.
Personal branding berupaya membangun kepercayaan dan hubungan jangka panjang, sedangkan flexing sering kali hanya menciptakan ledakan perhatian sementara tanpa substansi mendalam.
Personal branding mendorong pembangunan komunitas dengan meningkatkan interaksi, dialog, dan kolaborasi. Hal ini menciptakan ruang untuk pembelajaran dan dukungan bersama antara influencer dan audiens.
Sebaliknya, flexing cenderung membenarkan egoisme dan mengasingkan diri, fokus pada proyeksi gambaran diri yang satu dimensi.
Personal branding, jika dilakukan dengan benar, dapat membuka peluang karier, kolaborasi, dan pengakuan publik positif. Flexing, meskipun mungkin menciptakan ledakan perhatian singkat, cenderung cepat memudar tanpa substansi mendukung.