Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Peningkatan harga beras telah menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat belakangan ini. Banyak ibu rumah tangga yang saling curhat ketika bertemu di toko kelontong/sayur langganan mereka. Tak hanya para ibu rumah tangga, keresahan serupa juga dialami oleh pemilik toko. Melihat harga beras yang kian tinggi, mereka lantas hanya bisa pasrah menerima.
Melihat fenomena ini, respons masyarakat dalam menyikapinya tentu berbeda-beda. Lantas, apa yang bisa kita lakukan untuk mencari alternatif selain beras?
Seiring dengan bertambahnya usia, tubuh mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Rasa lelah, kelelahan, dan ketidaknyamanan menjadi lebih sering terjadi. Penyakit-penyakit seperti hipertensi, nyeri sendi, infeksi saluran kemih, masalah ginjal, diabetes, dan lainnya mulai mengintai.
Tentu saja, semua ini menimbulkan kekhawatiran dan menuntut usaha untuk menjaga tubuh tetap segar dan bugar. Selain melakukan olahraga, pola makan dengan konsumsi makanan sehat juga menjadi sangat penting.
Beras putih, yang biasanya menjadi pilihan utama, dinilai mengandung kalori dan karbohidrat tinggi, serta rendah serat. Hal ini perlu dipertimbangkan pada usia yang lebih tua.
Untuk mengantisipasi hal ini, saya memilih beras porang sebagai alternatif untuk menggantikan beras putih dalam diet. Bagi sebagian orang, terutama yang menjalani diet rendah kalori, beras porang bukanlah hal yang asing. Selain itu, beras porang juga memiliki banyak manfaat bagi kesehatan.
Porang, atau Amorphophallus muelleri Blume, adalah jenis umbi dengan serat tinggi dan karbohidrat rendah. Umbinya bulat dengan cekungan di bagian atas. Saat dibelah, dagingnya berwarna kuning keemasan dan mengeluarkan kristal cair bernama asam oksalat. Jika tidak diolah dengan benar, asam oksalat ini dapat menyebabkan iritasi dan gangguan ginjal.
Meskipun memiliki manfaat kesehatan yang banyak, masyarakat umum sering kesulitan mengolahnya sendiri karena asam oksalatnya. Namun, asam oksalat dapat dihilangkan dengan beberapa metode, seperti penggunaan larutan NaCl, bio pengurai, garam krosok, dan abu.
Biasanya porang tumbuh dengan mudah di dataran rendah yang sedikit kering, seperti semak belukar, area terganggu, dan pinggiran hutan. Apabila dibudidaya oleh petani, porang dapat panen perdana dalam jangka waktu 2 tahun dan selanjutnya setiap satu tahun sekali porang dapat dipanen kembali tanpa perlu menanam umbinya lagi.
Porang dibudidayakan oleh petani di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di desa Rejoyoso, Bantur, Kabupaten Malang. Umbi porang diekspor dan diolah menjadi tepung dan keripik di kota Pasuruan, yang merupakan sentra budidaya dan pengolahan porang sejak tahun 1971.
Sebelum menjadi populer, porang sudah menjadi komoditas ekspor yang menjanjikan. Harapannya, dengan perkembangan teknologi, Indonesia dapat memproduksi sendiri makanan dari porang sehingga lebih mudah diakses oleh masyarakat.
Selain porang, ada juga olahan beras rendah kalori yang dikenal dengan nama shirataki. Produk ini juga terkenal sebagai makanan diet dan tersedia dalam bentuk tepung, beras, dan mie.
Olahan dari porang dan konjac (bahan dasar shirataki) ini terkenal dapat menurunkan berat badan, menurunkan kolesterol, mencegah sembelit, dan aman bagi penderita diabetes.
Dalam kunjungan Presiden Jokowi ke pabrik pengolahan porang di Madiun pada 19 Agustus 2021 lalu, beliau menegaskan bahwa porang merupakan komoditas pengganti beras yang lebih sehat karena kadar gulanya sangat rendah.
Porang memiliki manfaat kesehatan yang sangat beragam, mulai dari rendah kalori hingga bebas gula. Semakin banyak orang yang menyadari manfaatnya ini, semakin berkembang pula minat terhadap porang di masa depan.