Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Trim
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Bambang Trim adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Budaya Indonesia Bukanlah Menerbitkan Buku Sendiri

Kompas.com - 25/09/2022, 12:03 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Menerbitkan Buku Sendiri "Bukan Budaya Kita""

Tradisi menerbitkan buku (self publishing) tumbuh karena penolakan penerbit sebagai institusi media.

Poynter, seorang praktisi perbukuan yang disebut "god father" untuk ribuan buku yang lahir di Amerika mengatakan, "Tidak seorang pun yang menghadapi begitu banyak penolakan seperti halnya para penulis".

Nama-nama penulis pesohor seperti Mark Twain, Edgar Alan Poe, dan Virginia Wolf telah memulai tradisi menerbitkan buku sendiri pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Industri pers dan industri buku berkembang bersamaan akibat penyempurnaan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg (1450) yang memicu terjadinya Zaman Pencerahan di Eropa (abad ke-17 dan abad ke-18). Melalui VOC, Belanda memboyong mesin cetak ke Indonesia dan melakukan aktivitas penerbitan pada abad ke-17.

Sejarah Perbukuan Indonesia

Akhir abad ke-19, usaha penerbitan dirintis oleh peranakan Tionghoa di Indonesia dan kaum bumiputra.

Setelah kemerdekaan, penerbit bumiputra mulai unjuk gigi, seperti munculnya Penerbit Erlangga dan Penerbit Tiga Serangkai selain Balai Pustaka---penerbit milik Belanda yang kemudian dinasionalisasi.

Penerbit Erlangga didirikan oleh seorang guru, Marulam Hoetahoeroek pada tahun 1952. 

Menyusul Penerbit Erlangga, pada tahun 1958, muncul Penerbit Tiga Serangkai. Pendiri Penerbit Tiga Serangkai di Solo adalah pasangan suami istri yang berprofesi sebagai guru, Abdullah Marzuki dan Siti Aminah.

Boleh dibilang pasangan suami-istri guru itu telah sukses melakukan penerbitan mandiri sebelum akhirnya menjadi penerbit konvensional dan penerbit mayor.

Agak lebih maju tahun 1980-an, Iwan Gayo mendirikan Penerbit Upaya Warga Negara dengan terbitan yang sangat laris pada masa itu, yakni Buku Pintar.

Iwan Gayo merintis penerbitan ini dari kisah pilu ketika ia rugi total menerbitkan buku kumpulan soal. Buku itu baru selesai dicetak pas saat ujian masuk perguruan tinggi dilaksanakan.

Beberapa penerbit lain juga didirikan oleh para sastrawan/penulis, seperti Penerbit Dian Rakyat milik Sutan Takdir Alisjahbana dan Penerbit CV Endang milik Achmad Notosoetardjo (Ketua Ikapi pertama tahun 1950).

Berdasarkan sejarah, dapat disebut bahwa penerbitan di Indonesia didirikan oleh tiga kelompok masyarakat.

Pertama, mereka yang memang seorang penulis/sastrawan, jurnalis, dan editor, pernah bekerja di penerbitan sebelumnya.

Kedua, mereka yang berprofesi awal sebagai guru dan penulis.

Ketiga, mereka yang benar-benar pengusaha dan melihat peluang di industri media.

Kelompok terakhir ini secara umum lahir pada masa Orde Baru ketika proyek-proyek perbukuan digiatkan oleh pemerintahan Soeharto.

Budaya Perbukuan Indonesia

Saat krisis yang terjadi tahun 1960-an, budaya buku di Indonesia agak tersendat. Masyarakat lebih memilih bahan pokok daripada buku.

Ketika Orde Baru berkuasa, buku digiatkan, tetapi telah hadir pesaing buku bernama televisi. Budaya buku sedikit menjauh meskipun usaha penerbitan buku yang didominasi oleh penerbit buku teks (pelajaran) tetap berdiri.

Memang ada semacam "rantai putus" dari Zaman Pergerakan hingga Zaman Perang Kemerdekaan ketika para pemimpin bangsa adalah "orang-orang buku". Mereka bukan hanya pembaca yang rakus, melainkan juga penulis yang ulung.

Zaman ini juga melahirkan banyak sekali sastrawan dan para penulis yang mumpuni dengan latar belakang bacaan yang mencengangkan.

Namun, pada masa Orde Baru para pejabat "senang sekali" menyebut masyarakat kita tidak gemar membaca atau tidak memiliki budaya membaca buku.

Faktanya memang terjadi degradasi kebiasaan membaca meskipun pada zaman itu situasi dan kondisi bangsa sudah membaik.

Kongres Perbukuan Nasional I pada tahun 1995 yang diselenggarakan Pusat Perbukuan merekam puluhan permasalahan di dalam industri buku, tidak terkecuali masalah minat dan budaya membaca yang rendah.

Sastrawan Taufiq Ismail pernah secara lantang menyatakan telah terjadi tragedi nol buku. Anak-anak sekolah tidak lagi "dipaksa" membaca buku sehingga tidak lagi mengenal karya-karya sastra yang bernilai tinggi.

Ekosistem Perbukuan

Ekosistem perbukuan merupakan ekosistem yang unik dan kurang banyak diketahui oleh awam.

Masyarakat Indonesia pernah atau sampai sekarang masih ada yang tidak dapat membedakan antara penerbit dan pencetak (percetakan), bahkan terjadi juga di lembaga pemerintah.

Ekosistem ini melibatkan dua unsur, yaitu unsur eksternal pemasok naskah (penulis, penerjemah, dan penyadur) dan unsur internal penggarap naskah (editor, desainer, ilustrator). Selain itu, ada lagi unsur pencetak (percetakan) dan unsur toko buku.

Iklim perbukuan di Indonesia pada beberapa dekade digambarkan kurang sehat karena rendahnya minat membaca dan minat membeli buku.

Tahun 2000-an digambarkan masyarakat Indonesia lebih senang membeli CD/DVD daripada buku.

Tahun 2010-an hingga kini digambarkan masyarakat lebih senang membeli pulsa dan kuota daripada buku.

Kadar literasi bangsa Indonesia berdasarkan survei CCSU (Central Connecticut State University) tahun 2016 berada pada posisi 60 dari 61 negara. Ini masalah yang tidak pernah ada habisnya dibahas sehingga menimbulkan gerakan literasi.

Karena itu, pemerintah mencoba turun tangan mengatasi persoalan perbukuan dengan menurunkan berbagai kebijakan perbukuan.

DPR menyampaikan inisiatif menyusun regulasi RUU Perbukuan yang disambut oleh Kemdikbud hingga berbuah UU Nomor 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan.

Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut juga sudah disahkan yakni PP Nomor 75 Tahun 2019.

Lalu, kini sudah dituangkan pula beberapa peraturan Mendikbudristek tentang perbukuan, seperti standar dan kaidah perbukuan serta penilaian buku.

Lembaga yang pernah berdiri, Bekraf, pada masanya juga turut berkontribusi. Di antaranya melahirkan organisasi penulis Satupena dan menginisiasi beberapa pertemuan perbukuan.

Salah Kaprah Penerbit Mandiri

Dalam satu sampai dua dekade yang lalu, iklim perbukuan tidak seperti saat ini. Saat ini kita mengenal yang namanya buku elektronik dengan menggunakan platform PDF, ePub, dan lainnya.

Kita juga mengenal teknologi cetak manasuka (print on demand) sehingga mencetak buku perdana tidak harus 3.000 eksemplar, dapat dibuat cetak tiras rendah, 100 eksemplar misalnya. Pendeknya, teknologi telah menawarkan aktivitas penerbitan buku menjadi lebih murah dan lebih cepat.

Ini yang membuat gejala penerbitan mandiri (self-publishing) semestinya menemukan momentum. Namun, terjadi salah kaprah soal penerbit mandiri ini.

Salah kaprah definisi juga terjadi seperti yang termuat di dalam buku panduan yang disusun oleh Bekraf.

Buku panduan itu menyatakan bahwa telah terjadi pergeseran makna penerbit mandiri dari sebelumnya penerbit yang didirikan oleh penulis menjadi sebuah usaha jasa.

Entah siapa yang menjadi narasumber Bekraf pada masa itu sehingga muncul kerancuan antara self publisher dan vanity publisher, termasuk juga publishing service. Tidak pernah terjadi pergeseran makna.

Self Publisher atau penerbit mandiri itu bermakna seorang penulis menghasilkan naskah secara mandiri, mengembangkan editorial naskah juga secara mandiri (bekerja sama dan mengontrol editor, desainer, dan ilustrator), serta memasarkannya juga sendiri.

Model ini pernah dilakukan oleh Dewi Dee Lestari melalui Penerbit True Dee ketika awal menerbitkan Supernova.

Konteks editorial dan pemasaran ini juga dapat melibatkan profesional lain. Namun, penerbit mandiri itu benar-benar dimiliki sendiri oleh penulis dengan badan usaha/hukum yang relevan adalah CV atau PT.

Kerancuan berpikir ini yang juga merebak di kalangan penulis. Mereka menyebut telah melakukan penerbitan mandiri.

Akan tetapi faktanya mereka membayar penerbit berbayar (vanity publisher) untuk melakukannya. Mereka tidak memiliki kontrol terhadap penerbitan bukunya sendiri.

Alhasil, penerbitan mandiri sejatinya bukan budaya kita. Para penulis terkecoh dengan istilah yang tidak pada tempatnya.

Jiwa Penerbit Mandiri

Jiwa penerbit mandiri sejati adalah entrepreneurship. Seorang penulis yang ingin menjadi penerbit mandiri haruslah seorang authorpreneur atau writerpreneur.

Ia harus siap berbisnis dan juga siap menanggung risiko bisnis. Karena itu, uang yang dimilikinya menjadi modal yang akan diputarkan dalam bisnis yang tidak terlalu populer di Indonesia, bisnis buku!

Satu hal lagi, penulis sebagai penerbit mandiri harus mengenali seluk-beluk organisasi penerbit. Ia perlu memiliki pengetahuan multidimensi, seperti produksi, keuangan, dan pemasaran. Tidak cukup hanya bermodal mampu menulis.

Ia juga harus memiliki intuisi yang tajam terhadap naskah yang ditulisnya bahwa akan ada pembaca buku yang jumlahnya signifikan.

Itu sebabnya jika penulis masih bermental menitipkan uangnya untuk dikelola oleh orang lain seperti vanity publisher, ia bukanlah penerbit mandiri. Ia sama sekali tidak punya kontrol terhadap bukunya.

Soal ini sudah menggejala di mana-mana yang juga menumbuhkan bisnis jasa penerbitan berbayar, bahkan didirikan oleh orang yang sama sekali tidak mengerti penerbitan buku.

Harga penerbitan berbayar yang murah meriah sering kali menjadi penarik para penulis untuk menitipkan bukunya di sana.

Menerbitkan buku sendiri memang bukan budaya kita. Budaya kita mungkin adalah bagian dari kelirumologi. Salam insaf!

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com