Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketimpangan Gender pada Penggunaan Kontrasepsi"
Suatu hari seorang pasien perempuan datang ke Poli Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) di Puskesmas tempat saya bertugas.
Kedatangannya itu bermaksud untuk melakukan kontrol rutin terkait posisi Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) setiap 6 bulan sekali.
Pasien tersebut mengaku bahwa ia sudah menggunakan AKDR atau biasa dikenal dengan Intra Uterine Device (IUD) selama satu tahun.
Terkait penggunaan IUD ini sebenarnya sangat jarang ditemukan di desa tempat saya bertugas. Padahal, tingkat keberhasilan mencegah kehamilan dengan menggunakan IUD ini sangat tinggi, yakni sekitar 98-99% selama lima tahun penggunaannya.
Pasien juga menjelaskan alasan mengapa ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan IUD ini. Menurutnya, ia mengikuti saran dokter spesialis kandungan untuk menggunakan alat kontrasepsi yang ditaruh di dalam rahim pasca ia melakukan operasi caesar.
“Karena menurut dokter tersebut alat kontrasepsi yang ditaruh dalam rahim tidak ada hormonnya karena hormon akan berpengaruh kepada tekanan darah,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa ia sudah mencoba berbagai macam kontrasepsi, mulai dari tablet, suntik, implan, hingga IUD yang sekarang dipilih meski awalnya merasa takut.
Setelah melakukan pemeriksaan terhadap pasien, diketahui bahwa adanya kemungkinan IUD mengalami displacement atau pergeseran posisi IUD dari tempat yang seharusnya di dalam fundus ke segmen bawah rahim atau leher rahim.
Oleh karenanya, kemudian pasien diberikan rujukan ke rumah sakit terdekat untuk dilakukan pemeriksaan USG untuk memastikan posisi IUD.
Dari cerita pasien tersebut terkait pengalaman penggunaan kontrasepsi, saya tertarik untuk mencari tahu mengenai data angka partisipasi kontrasepsi antara perempuan dan laki-laki di Indonesia.
Menurut riset oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di tahun 2018, ditemukan bahwa persentase partisipasi perempuan yang menggunakan kontrasepsi sebesar 96,7%, sementara partisipasi laki-laki hanya sebesar 3,3%.
Dari temuan itu bisa dikatakan bahwa pelaksaan Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) ternyata mengalami banyak kendala di lapangan.
Temuan BKKBN tahun 2018 tersebut juga sekaligus memperlihatkan bahwa praktik program Keluarga Berencana (KB) yang sejak tahun 1994 mengampanyekan soal peningkatan tanggung jawab dan partisipasi laki-laki dalam program KB rupanya masih jadi PR besar di Indonesia.
Ketimpangan tingkat partisipasi kontrasepsi tersebut juga memperlihatkan dikotomi peran laki-laki dan perampuan baik dalam bentuk stereotipe, double burden, marginalisasi, subordinasi, hingga kekerasan terhadap perempuan.
Padahal penelitian lain yang dilakukan oleh Syahputra tahun 2020 menjelaskan bahwa perspektif gender dalam KB menekankan kebebasan untuk melakukan pilihan terkait metode kontrasepsi, untuk mengakses informasi terkait keluarga berencana, ketersediaan pelayanan yang lebih luas, dan meningkatkan partisipasi laki-laki dalam keluarga berencana.
Melalui dikotomi peran tersebut, perempuan dianggap harus berperan sebagai individu yang lemah, harus menurut, hingga tidak dapat bertindak sebagai seorang pengambil keputusan.
Sebaliknya, laki-laki dianggap sebagai individu yang kuat, dapat mendominasi, dan satu-satunya pengambil keputusan dalam keluarga.
Ketimpangan gender dalam keluarga berencana ini berimbas seolah-olah KB hanyalah urusan perempuan yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh laki-laki. Sungguh ironi bukan?
Secara garis besar, menurut penelitian oleh Syahputra pada tahun 2020, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi ketimpangan gender dalam proses keluarga berencana, antara lain:
(1) Stereotipe sosial atau pandangan yang telah mengakar kuat di dalam kehidupan sosial masyarakat bahwa KB adalah urusan perempuan menjadi faktor yang kuat mengapa penggunaan kontrasepsi didominasi oleh perempuan.
(2) Pembagian peran gender, yang mana melalui proses pembagian peran gender, perempuan cenderung ditempatkan pada peran domestik dan laki-laki dalam peran publik, berimbas pada pengetahuan terkait keluarga berencana cenderung didominasi oleh para perempuan.
Sering kali penyuluhan terkait keluarga berencana hanya berhasil ditujukan kepada mereka para perempuan dikarenakan suami alias para laki-laki sedang sibuk bekerja dan kemudian berdampak pada rendahnya pengetahuan laki-laki terkait keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
(3) Terbatasnya pilihan kontrasepsi untuk laki-laki dibanding kontrasepsi untuk perempuan mengakibatkan partisipasi laki-laki dalam penggunaan kontrasepsi menjadi rendah.
Pilihan kontrasepsi pada laki-laki biasanya hanya berupa kondom, vasektomi, dan senggama terputus.
Selain itu juga terdapat Reversible Inhibition of Sperm Under Guidance (RISUG), yaitu metode kontrasepsi suntik untuk laki-laki yang sampai saat ini studinya masih terus dikembangkan.
Menggunakan kontrasepsi dalam konteks menyukseskan program KB bukanlah tugas perempuan semata. Kaum laki-laki pun harus menyadari bahwa urusan penggunaan kontrasepsi ini juga merupakan tanggung jawab mereka juga untuk menyukseskan program KB.
Terkait proses pengambilan keputusan dalam keluarga berencanya juga mestinya terjalin lewat komunikasi yang baik antara pasangan suami-istri.
Sehingga tidak akan menimbulkan keputusan yang terkesan memberatkan salah satu pihak saja.
Selanjutnya adalah tugas kita bersama untuk menghapus stereotipe yang masih ada di masyarakat bahwa perempuanlah kunci sukses program KB.
Caranya dengan lebih menggiatkan lagi kampanye serta promosi kesehatan dalam berbagai bentuk sehingga dapat menjangkau berbagai lapisan masyarakat dengan tingkat pendidikan/pengetahuan yang beragam.
Hasil yang diharapkan tentunya tak akan ada lagi ketimpangan pengetahuan terkait KB antara suami dan istri yang akhirnya menimbulkan ketimpangan peran gender.
Hal lain yang tentunya bisa dicapai selanjutnya adalah riset dan inovasi terkait kontrasepsi untuk laki-laki mengingat selama ini pilihan kontrasepsi laki-laki sangat terbatas.
Dengan banyaknya pilihan kontrasepsi untuk laki-laki ke depannya, diharapkan tak ada lagi alasan untuk “membebankan” kontrasepsi kepada kaum perempuan saja.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.