
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apakah penilaian belajar selalu harus sama untuk semua murid? Bagaimana jika setiap anak memiliki cara, ritme, dan capaian belajar yang berbeda—apakah ujian akhir semester masih bisa diseragamkan?
Di Sekolah Luar Biasa (SLB), pertanyaan-pertanyaan tersebut bukan sekadar wacana, melainkan kenyataan sehari-hari. Penilaian sumatif akhir semester di pendidikan khusus memiliki dinamika yang sangat berbeda dibandingkan sekolah reguler.
Di ruang kelas SLB, penilaian tidak bisa dipukul rata, bahkan ketika murid berada pada jenjang dan usia yang sama.
Guru pendidikan khusus diberikan kewenangan untuk menyesuaikan kurikulum dengan kondisi, kebutuhan belajar, dan karakteristik masing-masing murid.
Penyesuaian itu dapat berupa adaptasi, penyederhanaan (simplifikasi), peningkatan tantangan (eskalasi), penggantian bentuk kegiatan (substitusi), hingga penghilangan kompetensi tertentu (omisi).
Ketika pengalaman dan kemampuan belajar setiap anak tidak sama, maka bentuk evaluasinya pun harus berbeda.
Dalam praktiknya, guru juga perlu bersiap dengan berbagai kemungkinan. Jika terjadi tantrum, kelelahan sensori, atau overstimulasi, penilaian tidak serta-merta dipaksakan.
Selalu ada rencana cadangan agar proses belajar dan penilaian tetap berlangsung secara manusiawi dan efektif.
Satu Jenjang, Beragam Cara Menilai
Di kelas III SDLB Q SLBN Tasikmalaya, misalnya, terdapat empat murid dengan spektrum autisme yang berada pada jenjang dan rentang usia yang sama. Namun, keempatnya menjalani sumatif akhir semester dengan cara yang berbeda.
Seorang murid dinilai melalui soal visual bergambar karena sudah mampu membaca simbol sederhana. Murid lain menggunakan benda konkret untuk menunjukkan pemahamannya tentang angka.
Ada pula murid yang dinilai melalui aktivitas fungsional, seperti menata peralatan makan atau mengikuti instruksi sederhana dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara itu, murid lainnya membutuhkan bantuan berupa prompting dari guru karena kemampuan regulasi dirinya masih terbatas.
Dalam konteks ini, kertas ujian bukanlah satu-satunya instrumen penilaian. Bahkan, sering kali ia hanya menjadi pelengkap.
Apa yang diukur bukanlah apa yang seharusnya dikuasai menurut standar umum, melainkan apa yang benar-benar dapat dikuasai oleh anak sesuai dengan tahap perkembangannya.