Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mendulang Asa TV menjadi Partner Pendidikan Era Digital"
Di akhir tahun 1980-an hingga tahun 1990-an awal, pemandangan yang kerap ditemui adalah banyaknya masyarakat yang berkumpul di satu rumah hanya untuk menyaksikan tayangan televisi (TV).
Hal itu kerap dan banyak ditemui, khususnya di pedesaan, karena yang bisa memiliki TV pada masa itu tidak semua orang.
Saluran TV yang bisa ditonton dan dinikmati pada masa itu juga terbatas, yakni hanya Televisi Republik Indonesia (TVRI). Baru sekitar tahun 1991 muncul siaran TV lain dari Televisi Pendidikan Indonesia (TPI).
TPI merupakan saluran TV yang dimiliki oleh salah satu anggota keluarga Cendana yang terbilang sukses memulai debut di bidang pertelevisian swasta era Presiden Soeharto.
Biasanya masyarakat di pedesaan sebelum menonton TV, akan ada satu orang yang bersedia membantu tuan rumah mengatur antena TV yang terpasang di luar rumah.
Pada masa ini alat tangkap sinyal TV baru bisa mengandalkan antena TV luar. Baru saat munculnya saluran TV lain seperti RCTI baru ada penangkap sinyal lain seperti antena booster.
Antena booster ini merupakan alat yang cukup sederhana, alat ini dipasang bersama dengan antena luar. Fungsinya adalah sebagai penguat penerimaan sinyal TV UHF.
Pada masa itu sebenarnya juga ada penangkap sinyal siaran TV lain yang biasa disebut antena parabola. Biasanya siaran TV yang ditangkap oleh parabola ini adalah siaran TV luar negeri, namun memang harga parabola ini cukup tinggi.
Bagi banyak orang, TV menjadi hiburan yang menarik, karena dianggap sebagai hasil inovasi alat komunikasi setelah radio, telepon, dan lainnya.
Keunggulan dari TV ini dibandingkan dengan radio dan yang lainnya adalah TV bisa menyajikan gambar dan suara secara bersamaan. Tayangannya juga lebih variatif dan sifatnya menghibur.
Kehadiran TV memang tujuannya digunakan sebagai alat komunikasi dan propaganda di dalam negeri, terutama pemerintah.
Sayangnya memang pada masa itu jumlah saluran TV dalam negeri relatif sedikit dan sepenuhnya dikuasai pemerintah.
Oleh karenanya, hal ini membuat masyarakat tidak memiliki pilihan saluran dan tayangan lain selain apa yang saluran TV pemerintah sajikan. Jam tayangnya pun terbatas, hanya beberapa kali saja dalam satu hari.
Hal ini terus berjalan sampai akhirnya tiba masa lengsernya Pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998. Pada saat ini Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah tatanan di segala bidang termasuk reformasi di pemerintahan yang meliputi kebijakan penyiaran TV.
Peralihan pemerintahan dari Soeharto ke BJ. Habibi, menghadirkan suasana baru pertelevisian Indonesia terlihat dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok Pers.
Dengan terbitnya UU tersebut yang di dalamnya mencakup kebijakan tayang TV, menimbulkan semangat untuk membuat stasiun TV sendiri. Bahkan hingga saat ini, semangat seperti ini masih terlihat dengan terus bertambahnya stasiun TV baru.
Seiring kehadiran siaran-siaran TV baru dan penerapan perubahan kebijakan pasca orde baru, berimbas pada kemunculan fungsi-funsi baru TV sebagai saluran pendidikan.
Sebenarnya, ide awal TV sebagai media pendidikan sudah dimulai dari awal TVRI mengudara, lalu disusul oleh TPI.