Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada 15 Desember 2022 lalu, Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) telah disahkan menjadi UU P2SK dalam Sidang Paripurna DPR.
Dengan disahkannya UU P2SK, maka diharapkan akan bisa menjawab tantangan perekonomian, termasuk juga soal apa dampaknya bagi dunia perbankan Indonesia.
Beberapa hal yang diharapkan akan bisa dijawab oleh UU P2SK ini adalah pengaruh global akibat guncangan yang terjadi karena adanya disrupsi geopolitik dan sisi suplai yang mengakibatkan inflasi tinggi di banyak negara maju.
Selain inflasi tinggi, pengaruh global ini juga direspon dengan kenaikan suku bunga serta pengetatan likuiditas.
Perubahan yang terjadi dalam UU P2SK ini menjadikan kredibilitas dari masing-masing otoritas, seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) semakin kuat.
Selain itu juga tetap meningkatkan koordinasi untuk menjaga perekonomian serta stabilitas sistem keuangan bersama-sama.
Susunan UU P2SK terdiri atas 27 Bab dan 341 Pasal meliputi antara lain perasuransian, program penjaminan polis, kegiatan usaha bullion, konglomerasi keuangan mikro, Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), sampai dengan koperasi dalam sektor jasa keuangan.
Tentu saja, tujuannya adalah demi menjaga kestabilan dari sistem keuangan untuk menguatkan jaring pengamanan sistem keuangan.
Dari segi penguatan, OJK memperoleh amanat baru terutama dalam hal mengelola sektor yang termasuk perubahan dalam hal teknologi seperti cryptocurrency dan juga koperasi simpan pinjam.
Dari segi industri perbankan, UU P2SK ini juga memberikan dampak tersendiri, antara lain sebagai berikut.
Dalam UU P2SK mengatur tentang masalah pergantian penyebutan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) menjadi Bank Perekonomian Rakyat.
Tujuan dari perubahan nama tersebut tak lain adalah untuk menaikkan citra BPR di masyarakat. BPR juga dituntut untuk bisa berkontribusi dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional bersama dengan bank umum lainnya. Dengan kata lain, BPR juga dituntut untuk bisa naik kelas.
Maka dari itu, adanya pergantian nama ini, BPR BPR diproyeksikan bisa memberikan layanan keuangan layaknya seperti bank umum lainnya.
UU P2SK juga bisa memberi kesempatan BPR untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin terbuka melalui mekanisme penawaran umum perdana atau Initial Public Offering (IPO).
Beleid ini memperbolehkan BPR dalam melakukan IPO. Tentu, pelaksanaannya harus prudent seperti penetapan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar di akhir tahun 2024.
UU P2SK juga membawa perubahan unit syariah menjadi bank umum syariah yang juga berada di bawah aturan OJK.
Sebelumnya, telah diatur tentang kewajiban spin-off untuk Unit Usaha Syariah (UUS) yang batas waktunya ditetapkan sampai dengan akhir bulan Juni 2023 berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 2008 mengenai Perbankan Syariah.
Akan tetapi, karena ada Omnibus Law Keuangan, kewajiban transformasi UUS hingga menjadi Bank Umum Syariah (BUS) nantinya akan ditetapkan oleh OJK.
Dengan diberikannya kewenangan pada OJK ini, maka OJK diharapkan dapat merelaksasi aturan spin-off supaya UUS yang akan berubah menjadi BUS telah dinilai benar-benar siap. Baik itu dari segi permodalan atau dari segi infrastruktur.
UU P2SK juga berdampak pada dihilangkannya nama “Bank Gagal” dan diganti menjadi “Bank dalam Resolusi”.
Pengertian Bank dalam Resolusi mengacu pada bank yang sedang mengalami kesulitan finansial.
Selain itu, kelangsungan usahanya juga berada dalam posisi rentan dan dari segi keuangannya juga tak dapat disehatkan lagi oleh OJK.
Di samping itu, istilah "Bank Gagal yang Berdampak Sistemik" saat ini juga diubah menjadi "Bank Sistemik yang Ditetapkan sebagai Bank dalam Resolusi".
Dampak lainnya, LPS juga akan mengambil alih serta menjalankan berbagai macam hak dan wewenang dari pemegang saham Bank dalam Resolusi yang berkaitan.
Pengesahan UU P2SK juga memberi dampak pada bank umum, bahwa bank umum memiliki kewajiban untuk menyalurkan kredit terhadap UMKM.
Melalui UU P2SK, bank umum dan juga bank umum syariah memiliki kewajiban untuk menyalurkan kredit paling tidak sebanyak 20% kepada pelaku UMKM atau Usaha Kecil dan Menengah, maupun Usaha Mikro.
Tak hanya itu saja, bank umum dan bank syariah juga wajib menyalurkan kredit UMKM dengan tetap memperhatikan pemerataan antar daerah.
Dalam UU P2SK juga mengatur Bank Indonesia (BI) menjadi satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang melakukan pengelolaan rupiah digital.
Rupiah digital ini termasuk mata uang rupiah dalam bentuk digital yang telah BI keluarkan. Artinya, rupiah digital adalah kewajiban moneter BI.
Sementara untuk pengelolaan rupiah digital harus dilakukan dengan memperhatikan sejumlah aspek, salah satunya seperti penyediaan rupiah digital yang kini jadi alat pembayaran yang sah di NKRI.
Tentunya pengesahan UU P2SK dimaksudkan dapat mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi dan menjawab tantangan masa depan.
Sebab perbankan sebagai bagian industri keuangan, pastinya juga akan terdampak yang seringkali disebut sebagai Omnibus Law Keuangan dalam upaya menjaga Ketahanan Perbankan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Apa Dampak UU P2SK bagi Perbankan?"