Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Baru-baru ini Laporan Kebahagiaan Dunia 2023 merilis data-data negara berdasarkan tingkat kebahagiaan. Indonesia masuk urutan ke-84 dari 109 negara.
Indeks Kebahagiaan ini kerap digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat, apakah masyarakat di suatu wilayah tengah menjalani hidup yang bahagia atau malah sebaliknya merasa tertekan.
Ketika mendengar Indonesia berada di urutan ke-84 dalam laporan kebahagiaan, entah mengapa saya tidak heran.
Pasalnya, tuntutan gaya hidup masa kini kerap dianggap menjadi penyebab susahnya orang Indonesia mendapatkan kehidupan yang bahagia.
Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah benar standar gaya hidup masa kini jadi penyebab utama adanya jurang kebahagiaan?
Salah satu hal yang membuat masyarakat Indonesia dinilai kurang bahagia adalah karena gaya hidup yang kian mahal.
Di media sosial saya kerap melihat banyak orang termasuk teman saya sendiri yang membuat postingan sedang makan di resto mewah, pergi ke bar, atau memberi iPhone keluaran terbaru dengan cara mencicil.
Ditambah lagi barang lainnya yang bisa dibilang branded. Semua aktivitas dan barang yang dibelinya membutuhkan uang yang tak sedikit.
Melihat semua aktivitasnya sebenarnya tidak masalah bagi saya, namun ketika orang tersebut mengirim pesan singkat ke saya dengan tujuan meminta pinjaman uang baru jadi masalah dan menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya.
Bukankah seharusnya dengan gaya hidupnya yang mewah dan mahal berarti ia memiliki gaji yang tinggi jauh di atas UMK? Namun, kenyataannya dengan ia meminjam uang pada saya berarti membuktikan gaya hidupnya tersebut yang membuat uangnya cepat habis.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.