Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sayangnya, masih terjadi sampai sekarang kalau pembajakan buku bukan lagi dilakoni secara "perorangan", melainkan sudah berdiri menjadi suatu "'industri yang besar".
Membaca fenomena ini, agaknya sebagian orang merasa "sudah biasa", dan dalam beberapa kesempatan sering mendengar bahwa fenomena pembajakan ini dinilai "sulit dibersihkan, toh masih ada yang namanya mesin fotocopy".
Miris didengar, padahal menjadi persoalan yang sangat serius dan membutuhkan banyak dukungan.
Menilik kebelakang, melansir dari Warta Ekonomi, per 2019 IKAPI mengungkap hasil riset terkait perbukuan Indonesia, bahwa terdapat 11 penerbit mengalami kerugian yang sangat besar mencapai '116,06 miliar rupiah' yang diakibatkan oleh beredarnya buku-buku bajakan.
Kemudian, per 2021 IKAPI lagi-lagi mengungkap, bahwa 75% penerbit mendeteksi buku-buku yang telah diterbitkannya dibajak. Ketika jumlah kerugiannya ditaksir, masih setara dengan tahun 2019, yakni menginjak ratusan miliar. Pembajakan buku yang terdeteksi, sebagian besar terjual bebas di pasar online alias marketplace.
Pasar online, memang telah berhasil memikat konsumen dengan beragam fitur keuntungan, terlebih penggunaannya yang mudah dan praktis membuat konsumen merasa semakin dimanjakan. Sayangnya, kemudahan dan kepraktisan ini tak lekang dari oknum nakal yang memanfaatkannya sebagai media pemasaran buku bajakan.
Baik buku cetak ataupun e-book bajakan, secara leluasa telah terjual bebas di marketplace, bahkan dengan harga yang miris. Jika, buku cetak bajakan dihargai sekitar 50% lebih rendah atau setengahnya dari harga buku original, maka e-book dihargai secara cuma-cuma, yakni bukan lagi ribuan, melainkan perak yang berkisar mulai dari Rp500 (perak).
Bisa kita bayangkan, karya indah yang lahir dari ide dan pengalaman penulisnya, waktu yang panjang untuk menulisnya, proses penyuntingan yang tidak mudah, hanya dihargai secara cuma-cuma.
Kategori Pembajakan Buku
Sebelum lebih mendalam, perlu diketahui bahwa pembajakan buku memiliki dua kategori, diantaranya:
1. Menggandakan Buku (Secara Utuh)
Kategori pertama, pembajakan buku dilakukan (secara utuh) alias full satu buku digandakan oleh pembajak. Lho, tapi gimana caranya kok oknum bisa sampai mencetaknya?
Pada kategori ini, biasanya pembajak mendapatkan bocoran dalam bentuk soft file, salah satunya seperti dari e-book yang kemudian dicetak dan diperbanyak hingga diperjual-belikan.
Tentunya, proses mencetak dan memperbanyak ini dilakukan tanpa izin resmi dari pemilik Hak Cipta, baik penerbit ataupun penulisnya.
"Tanpa izin resmi" tentu sudah termasuk ke dalam tindakan yang melanggar Hak Cipta. Melansir dari deepublish, jangankan menggandakan, mendapatkan buku dalam bentuk elektronik (secara ilegal) untuk "keuntungan pribadi" saja sudah termasuk "melanggar hak cipta", meski tujuannya hanya sebatas dijadikan koleksi pribadi atau 'menghemat'.