Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Membaca atau mendengar kalimat "susahnya mencari pekerjaan" membuat saya kembali teringat kisah yang pernah saya alami 24 tahun yang lalu.
Sekitar awal tahun 2000an, saya pernah merasakan berjalan sambil membawa tas yang berisi beberapa map coklat. Map coklat kala itu sangat identik dengan pencari pekerjaan.
Surat lamaran ditulis tangan dan langsung diantar ke tempat tujuan atau dikirim via Pos. Banyak sekali pengalaman yang didapat, dari salah alamat, berteduh di tempat yang asing karena hujan lebat, hingga pernah tersesat karena salah naik angkutan umum (angkot).
Kala itu saya sempat merasakan putus asa, dan sempat berfikir "sudahlah ga usah cari kerja, mau diam aja di rumah"..
Keputusasaan atau suatu keadaan yang menggambarkan kondisi seseorang yang merasa tidak ada harapan kini disebut dengan istilah Desperate.
Kondisi ini bisa menimpa siapa saja, tanpa memandang usia, latar belakang, atau status sosial. Namun, beberapa kelompok yang dinilai lebih rentan mengalami keputusasaan ini adalah generasi muda.
Ini yang jadi pertanyaan, mengapa mereka para generasi muda lebih rentan dibanding dengan kelompok lainya?
Apakah karena mereka, terutama yang sedang atau baru memasuki dunia kerja, seringkali mengalami ketidakpastian dalam karier?
Belum lagi ada yang namanya tekanan sosial untuk mencapai sukses, ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan yang di hadapi dan pengaruh media sosial yang membuat mereka merasa tidak cukup baik.
Apalagi pada era modern seperti ini, kita dihadapi oleh berbagai tekanan yang lebih intens dibandingkan dengan era sebelumnya.
Kemajuan teknologi, perubahan ekonomi dan meningkatnya tuntutan sosial menciptakan kehidupan yang serba cepat dan kompetitif. Orang-orang akan dituntut untuk bekerja lebih cepat dan efisien yang menyebabkan kelelahan baik secara mental maupun fisik.
Salah satu tantangan utama dalam kehidupan modern adalah krisis identitas. Banyak orang merasa tertekan untuk menemukan "siapa diri mereka sebenarnya" di tengah tuntutan sosial yang berbeda.
Dengan munculnya media sosial, maka mereka berlomba-lomba menunjukkan versi diri yang terbaik secara online yang terkadang berbeda dari kehidupan nyata mereka.
Sehingga munculah fenomena social comparason, yang membuat banyak orang merasa bahwa hidup mereka tidak sebaik yang mereka harapkan, meskipun kenyataannya setiap orang hanya menampilkan aspek terbaik dari hidup mereka di media sosial.
Teknologi yang semakin maju membuat kita lebih terhubung secara digital,banyak orang di era modern merasakan sangat kesepian.