Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
H.I.M
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama H.I.M adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Benarkah Gaya Hidup Masa Kini Membuat Kita Jauh dari Kebahagiaan?

Kompas.com - 12/04/2023, 14:25 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Baru-baru ini Laporan Kebahagiaan Dunia 2023 merilis data-data negara berdasarkan tingkat kebahagiaan. Indonesia masuk urutan ke-84 dari 109 negara.

Indeks Kebahagiaan ini kerap digunakan untuk mengukur tingkat kebahagiaan masyarakat, apakah masyarakat di suatu wilayah tengah menjalani hidup yang bahagia atau malah sebaliknya merasa tertekan.

Ketika mendengar Indonesia berada di urutan ke-84 dalam laporan kebahagiaan, entah mengapa saya tidak heran.

Pasalnya, tuntutan gaya hidup masa kini kerap dianggap menjadi penyebab susahnya orang Indonesia mendapatkan kehidupan yang bahagia.

Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Apakah benar standar gaya hidup masa kini jadi penyebab utama adanya jurang kebahagiaan?

  • Gaya Hidup Masa Kini Mahal

Salah satu hal yang membuat masyarakat Indonesia dinilai kurang bahagia adalah karena gaya hidup yang kian mahal.

Di media sosial saya kerap melihat banyak orang termasuk teman saya sendiri yang membuat postingan sedang makan di resto mewah, pergi ke bar, atau memberi iPhone keluaran terbaru dengan cara mencicil.

Ditambah lagi barang lainnya yang bisa dibilang branded. Semua aktivitas dan barang yang dibelinya membutuhkan uang yang tak sedikit.

Melihat semua aktivitasnya sebenarnya tidak masalah bagi saya, namun ketika orang tersebut mengirim pesan singkat ke saya dengan tujuan meminta pinjaman uang baru jadi masalah dan menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya.

Bukankah seharusnya dengan gaya hidupnya yang mewah dan mahal berarti ia memiliki gaji yang tinggi jauh di atas UMK? Namun, kenyataannya dengan ia meminjam uang pada saya berarti membuktikan gaya hidupnya tersebut yang membuat uangnya cepat habis.

Tak berbeda dengan teman saya, ada kisah seseorang sebut saja Yono. Ia adalah perantau dari Sulawesi yang sekarang tinggal di Jakarta.

Yono memiliki cita-cita ingin menjadi seorang selebgram. Untuk mewujudkan cita-citanya itu, Yono berusaha untuk berkenalan dan mengikuti pergaulan orang-orang yang ia anggap sebagai selebgram yang memiliki jumlah pengikut yang besr.

Dengan mengikuti gaya hidup anak muda di Jakarta yang tidak bisa dibilang murah, menuruti gengsi, akhirnya membuat seseorang memilih lingkup pertemanan yang ekslusif.

Misalnya, dalam lingkup pertemanan itu wajib memberikan hadiah branded karena itu bisa dipamerkan di media sosial. Tentu memberikan hadiah branded ini membutuhkan uang tak yang sedikit karena pasti harganya mahal.

Dengan memiliki lingkup pertemanan yang seperti ini, seseorang akan terjebak dalam situasi yang problematik.

Di satu sisi ia akan merasa gengsi dan malu jika tidak bisa mengikuti gaya hidup temannya, namun di sisi lain gaya hidup yang seperti ini akan membuat isi dompetnya terkuras apalagi bila ia tidak punya penghasilan yang tak begitu besar.

  • Pengakuan Sosial Media Jadi Utama

Di zaman sekarang, media sosial memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga mampu memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang.

Hal-hal seperti mendapat pujian, menerima komentar positif, serta melihat jumlah pengikut atau followers bertambah di media sosial, jadi salah satu acuan kebahagiaan tersendiri bagi sebagian orang.

Tak dimungkiri, saya pun termasuk dalam kategori sebagian orang tersebut. Saya kerap membagikan aktivitas saya di media sosial. Akan tetapi, saya masih menganggap apa yang saya lakukan di media sosial dalam tahap wajar.

Jika tidak adayang memberi komentar terkait apa yang saya bagikan, tidak akan menjadi masalah bagi saya, tidak ada yang memberi like juga tidak akan membuat saya sedih.

Suatu hari, saya pernah dengar seseorang mengatakan bahwa foto yang ia unggah ke media sosial mendapat sedikit like. Ia kemudian menjadi overthinking apakah foto yang ia unggah tersebut jelek, sehingga ia ingin menghapusnya saja.

Memang, biasanya ia kerap mendapat like ratusan hingga ribuan ketika mengunggah fotonya ke media sosial. Jadi, ketika ada satu foto yang ia unggah tidak mendapat banyak like seperti biasanya, hal ini akan sangat memengaruhi kondisi mentalnya.

Dengan jumlah like yang sedikit tak seperti biasanya, ia akan merasa sedih, stres, dan bahkan menganggap hal itu akan merusak reputasinya di media sosial.

Apalagi bila di unggahan tersebut terdapat komentar yang ia tidak suka, seperti komentar baju yang kurang pas, angle foto kurang apik, dan lain sebagainya.

  • Mengikuti Gengsi Orang Lain Bikin Stres

Seorang teman baru-baru ini mengunggah kegalauannya terkait rencana pernikahannya dengan pasangan. Semakin mendeketi hari pernikahannya, ia tampak semakin stres.

Ia sebelumnya bercerita bahwa ia berencana untuk mengadakan pesta pernikahan yang sederhana, mengundang orang terdekat saja agar tidak terlalu membebani biaya.

Akan tetapi masalah muncul saat keluarga besarnya dan pasangannya yang meminta untuk membuat pesta pernikahan yang mewah. Sebab, orangtuanya gengsi jika pernikahan anaknya tampak biasa-biasa saja dan khawatir akan jadi omongan tetangga.

Alhasil ia menggunakan seluruh tabungannya untuk menuruti gengsi orangtuanya membuat pesta pernikahan yang mewah.

Setelah pesta pernikahan uang tabungannya habis. Padahal ia sebelumnya bercerita jika pesta pernikahannya diselenggarakan secara sederhana, uang tabungannya akan digunakan untuk DP rumah dan kedaraan.

Akan tetapi rencananya gagal akibat menuruti gengsi orang di sekitarnya.

  • Besar Pasak Daripada Tiang

Salah satu hal yang menyebabkan seseorang mengalami besar pasak daripada tiang adalah karena tidak memiliki kemampuan manajemen keuangan yang baik. Akibatnya, pengeluarannya selalu lebih besar ketimbang penghasilannya.

Jalan pintas yang ditempuh oleh orang-orang seperti ini pada umumnya adalah dengan meminjam uang secara online.

Padahal, Pinjalam Online alias pinjol justru memberatkan orang yang meminjam karena bunga yang besar dan cara penagihannya yang membuat tidak nyaman.

Beberapa tahun lalu, saya membaca berita soal anak yang meminjam uang lewat pinjol sebesar Rp2,5 juta namun dana itu berubah menjadi Rp104 juta akibat bunga yang sangat besar dan tak masuk akal.

Jika saya berada di posisi yang sama, tentu saya akan sangat stres dan pusing. Bagaimana bisa pinjaman yang awalnya hanya Rp2,5 juta bisa menjadi Rp104 juta. Apalagi ditambah si penagih yang kerap meneror dan memberikan ancaman.

Tentu hal itu akan sangat membuat tak tenang, berada di rumah pun menjadi tak nyaman dan selalu merasa waswas.

Situasi seperti ini tentu akan membuat seseorang semakin jauh dari perasaan bahagia. Padahal, hal ini berangkat dari kesalahan diri sendiri yang tergiur mendapatkan pinjalan demi memenuhi kebutuhan kita.

Kesalahan seperti ini kerap dialami banyak anak muda, penyebabnya adalah karena mereka tidak bisa mengatur keuangan dengan baik. Mereka merasa apa yang ia dapat harus digunakan saat itu juga tanpa mempertimbangkan kondisi lainnya di kemudian hari.

Ciptakan Kebahagiaan Sendiri

Kebahagian sebenarnya bisa diciptakan oleh diri sendiri. Bahagia karena bisa melakukan hobi yang disuka, bahagia punya aset di masa depan,bahagia karena bebas utang, dan lain sebagainya.

Namun ironisnya di masa kini justru kebahagiaan jadi mudah hilang karena sesuatu yang kerap disebut sebagai standar gaya hidup.

Ada yang berutang di pinjol demi bisa membeli barang yang diincar demi bisa menunjukkan pada orang lain, ada yang tidak ingin terlihat susah di mata orang lain, atau ada juga yang terlalu mementingkan penilaian orang lain.

Hal-hal seperti itu akhirnya membuat seseorang jauh dari perasaan bahagia yang sebenarnya. Bahagia yang ia terima dengan hal-hal tadi adalah kebahagiaan semu.

Jadi, apakah kita masih mau mengikuti hal yang dijuluki standar gaya hidup dan membuat kita jauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya?

Apapun itu, kembalikan lagi ke diri masing-masih. Kalau saya, sih, jelas tidak mau.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Standar Gaya Hidup Zaman Kini Jadi Jurang Kebahagiaan, Benarkah?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com