Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di satu sisi ia akan merasa gengsi dan malu jika tidak bisa mengikuti gaya hidup temannya, namun di sisi lain gaya hidup yang seperti ini akan membuat isi dompetnya terkuras apalagi bila ia tidak punya penghasilan yang tak begitu besar.
Di zaman sekarang, media sosial memiliki kekuatan yang sangat besar sehingga mampu memengaruhi tingkat kebahagiaan seseorang.
Hal-hal seperti mendapat pujian, menerima komentar positif, serta melihat jumlah pengikut atau followers bertambah di media sosial, jadi salah satu acuan kebahagiaan tersendiri bagi sebagian orang.
Tak dimungkiri, saya pun termasuk dalam kategori sebagian orang tersebut. Saya kerap membagikan aktivitas saya di media sosial. Akan tetapi, saya masih menganggap apa yang saya lakukan di media sosial dalam tahap wajar.
Jika tidak adayang memberi komentar terkait apa yang saya bagikan, tidak akan menjadi masalah bagi saya, tidak ada yang memberi like juga tidak akan membuat saya sedih.
Suatu hari, saya pernah dengar seseorang mengatakan bahwa foto yang ia unggah ke media sosial mendapat sedikit like. Ia kemudian menjadi overthinking apakah foto yang ia unggah tersebut jelek, sehingga ia ingin menghapusnya saja.
Memang, biasanya ia kerap mendapat like ratusan hingga ribuan ketika mengunggah fotonya ke media sosial. Jadi, ketika ada satu foto yang ia unggah tidak mendapat banyak like seperti biasanya, hal ini akan sangat memengaruhi kondisi mentalnya.
Dengan jumlah like yang sedikit tak seperti biasanya, ia akan merasa sedih, stres, dan bahkan menganggap hal itu akan merusak reputasinya di media sosial.
Apalagi bila di unggahan tersebut terdapat komentar yang ia tidak suka, seperti komentar baju yang kurang pas, angle foto kurang apik, dan lain sebagainya.
Seorang teman baru-baru ini mengunggah kegalauannya terkait rencana pernikahannya dengan pasangan. Semakin mendeketi hari pernikahannya, ia tampak semakin stres.
Ia sebelumnya bercerita bahwa ia berencana untuk mengadakan pesta pernikahan yang sederhana, mengundang orang terdekat saja agar tidak terlalu membebani biaya.
Akan tetapi masalah muncul saat keluarga besarnya dan pasangannya yang meminta untuk membuat pesta pernikahan yang mewah. Sebab, orangtuanya gengsi jika pernikahan anaknya tampak biasa-biasa saja dan khawatir akan jadi omongan tetangga.
Alhasil ia menggunakan seluruh tabungannya untuk menuruti gengsi orangtuanya membuat pesta pernikahan yang mewah.
Setelah pesta pernikahan uang tabungannya habis. Padahal ia sebelumnya bercerita jika pesta pernikahannya diselenggarakan secara sederhana, uang tabungannya akan digunakan untuk DP rumah dan kedaraan.
Akan tetapi rencananya gagal akibat menuruti gengsi orang di sekitarnya.