
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apa yang kamu bayangkan ketika aktivitas kecil yang kita lakukan setiap hari sebenarnya memiliki peran besar dalam roda perekonomian Indonesia?
Aktivitas sederhana seperti berbelanja di pasar tradisional, menyantap nasi goreng di gerobak keliling, hingga membeli sayur dari pedagang kaki lima, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai shadow economy atau ekonomi bayangan.
Meski terlihat sepele, transaksi-transaksi ini menyumbang porsi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan sering kali tidak tercatat oleh otoritas pajak.
Namun perlu digarisbawahi, banyak pelaku usaha informal di Indonesia bukanlah mereka yang dengan sengaja ingin menghindari pajak.
Berdasarkan pengamatan dan percakapan langsung, sebagian besar justru beroperasi di ruang informal karena sistem formal masih terasa rumit, akses terhadap infrastruktur belum merata, dan literasi keuangan masih terbatas.
Dalam banyak kasus, sektor informal tumbuh sebagai respons terhadap tantangan struktural tersebut.
Fenomena ekonomi bayangan yang kita temui sehari-hari ini sebenarnya memiliki sejarah panjang, konsep yang kompleks, serta dampak besar terhadap perekonomian—lebih dari sekadar transaksi di pinggir jalan.
Melihat Kembali Sejarah dan Konsep “Ekonomi Bayangan”
Konsep ekonomi bayangan bukanlah hal baru. Meski praktik transaksi tidak resmi sudah ada sejak lama, kajian formal mengenai topik ini mulai berkembang setelah Perang Dunia II, terutama di negara-negara Blok Timur yang menyebutnya sebagai “Ekonomi Kedua”—pasar gelap yang muncul untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi negara.
Perhatian global terhadap isu ini meningkat tajam pada era 1970–1980-an, ketika negara-negara maju menghadapi stagflasi dan tingginya beban pajak, sehingga mendorong masyarakat mencari pendapatan tambahan yang tidak tercatat.
OECD bersama para ekonom seperti Friedrich Schneider dan Edgar L. Feige kemudian mengembangkan metode pengukuran yang lebih canggih, termasuk model MIMIC (Multiple Indicators Multiple Causes), untuk memetakan aktivitas ekonomi yang sulit dilihat ini.
Secara umum, OECD mendefinisikan ekonomi bayangan sebagai seluruh aktivitas ekonomi—baik legal maupun ilegal—yang seharusnya dilaporkan kepada otoritas pajak, tetapi tidak dilaporkan.
Aktivitas ini mencakup empat kategori: produksi bawah tanah, produksi ilegal, sektor informal, dan produksi rumah tangga untuk konsumsi sendiri.
Faktor Pendorong: Dari Global hingga Relevansi di Indonesia
Laporan EY menunjukkan bahwa antara tahun 2000–2023, ekonomi bayangan menyumbang sekitar 11,8 persen dari PDB global. Meski terjadi penurunan, banyak negara masih mencatat angka yang cukup tinggi, mencapai rata-rata 19,3 persen.
Fitur Apresiasi Spesial dari pembaca untuk berkontribusi langsung untuk Jurnalisme Jernih KOMPAS.com melalui donasi.
Pesan apresiasi dari kamu akan dipublikasikan di dalam kolom komentar bersama jumlah donasi atas nama akun kamu.