Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Saya makin senang ketika tahu toko buku itu menyediakan diskon khusus bagi kalangan pelajar dan mahasiswa. Harganya memang tidak semurah di Pasar Blauran, tapi juga tidak semahal di Gramedia Kupang.
Karena itu, selama masa kuliah di Surabaya, itu toko buku yang sering saya kunjungi. Sesekali setelah membeli buku, saya memesan minuman di kantin, lalu meminta pramusaji untuk memfoto. Kemudian, saya berpose seolah sedang membaca buku dengan secangkir kopi di meja.
Foto itu kemudian saya unggah di media sosial dengan tulisan yang dipikirkan matang-matang, setidaknya antara gaya di foto dan tulisannya memiliki kualitas yang seimbang agar menarik perhatian teman di media sosial.
Kopi tandas dan saya harus segera pulang dengan harapan bisa lanjut membaca buku di kos-kosan. Tapi begitu saya berbaring langsung diselimuti rasa malas. Baca buku bisa kapan-kapan, kata saya dalam hati dan kemudian tertidur.
Ketika kuliah sudah kelar pada tahun 2016, saya kembali ke Kota Kupang dan bekerja di salah satu kampus swasta. Sebagai orang yang sedang merintis karir di dunia pendidikan, saya berpikir harus memiliki kebiasaan membaca buku.
Karena itu, meski dengan tabungan pas-pasan, saya tetap berusaha membeli buku. Kadang sekali sebulan, sekali dua bulan, maupun sekali dalam satu semester.
Saya tetap sesekali mengunjungi Gramedia Kupang, tapi saat itu layanan pembelian buku secara daring mulai ramai. Selain itu, ada beberapa komunitas yang bergerak di bidang literasi ikutan menjual buku.
Kalau kita membeli buku langsung di toko buku atau lapak komunitas di Kupang, harganya jauh lebih mahal bila kita melihat harga aslinya di Pulau Jawa. Lalu kalau kita memesan langsung di Jawa, ongkos kirimnya cukup untuk membeli dua buku yang lain.
Semua serba salah dan itulah kondisi akses bacaan kami di NTT. Maka ketika Harian Kompas beberapa hari lalu mengeluarkan laporan mengenai akses bacaan di Indonesia, saya tidak terlalu heran. Sebab Provinsi NTT masuk dalam kategori sangat rendah.
Di tengah kondisi seperti itu, saya merasa diuntungkan dengan kehadiran inovasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Salah satunya kemudahan mengakses bacaan lewat gawai dengan adanya aplikasi iPusnas (perpustakaan elektronik).
Saya menikmati betul fasilitas ini karena memiliki koleksi buku yang cukup lengkap. Semenjak saya mengenalnya, saya jadi jarang membeli buku.
Kalau ada orang merekomendasikan bacaan tertentu, maka saya cek terlebih dahulu di iPusnas. Kalau koleksinya ada, maka tinggal dipinjam dan dibaca.
Memang ada beberapa koleksi buku dari beberapa penerbit tertentu yang belum ada. Buku seperti itu yang masih saya beli hingga saat ini.
Sebagai contoh, kemarin saya baru saja membeli 4 buku baru dari salah satu penerbit di Jogja. Itu buku-buku yang saya incar selama ini, tapi tidak tersedia di iPusnas. Karena itu, terpaksa saya membeli secara daring.
Buku pertama, judulnya "Buku Latihan untuk Calon Penulis" yang ditulis oleh Puthut EA. Ia salah satu penulis favorit saya, sehingga saya berusaha memilikinya.