Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Wisuda kelulusan TK, SD, SMP, dan juga SMA menuai polemik belakangan ini. Selain dikarenakan biaya wisuda dinilai memberatkan orangtua, wisuda sebelum menjadi sarjana justru menghilangkan maknanya.
Melihat begitu banyaknya argumen mengenai wisuda TK hingga SMA ini, saya bersyukur sekolah anak saya tidak terlalu memberatkan siswa dan orangtuanya. Barangkali sekolah ini satu yang tidak meminta uang gedung atau uang pembangunan dari awal masuk hingga lulus. Walaupun demikian, sekolah ini tetap memiliki gedung yang cukup megah dan fasilitas yang memadai.
Merunut ke belakang, sekitar 6 bulan lalu, pihak sekolah (terutama kelas 6) sudah rajin berkomunikasi dengan para siswa dan orangtua atau wali murid tentang kegiatan di momen kelulusan nanti. Para guru mengajak siswa dan orangtua untuk bermusyawarah terkait kegiatan apa yang ingin diadakan, termasuk besaran biayanya.
Hasil musyawarah kala itu disepakati momen kelulusan diadakan di tempat wisata secara sederhana saja yang lokasinya tidak terlalu jauh. Tujuannya hanya untuk kebersamaan dan berbagi kegembiraan sekaligus mengabadikan momen kelulusan. Di sisi lain juga dapat menghemat anggaran orangtua.
Setelah disepakati besaran biayanya, maka guru mempersilakan orangtua yang ingin mencicil biayanya agar tidak terlalu berat untuk pelunasannya. Dan, saya adalah salah satu orangtua yang memilih untuk mencicil biaya rekreasi tersebut. Benar saja, ketika hari H pelunasan, saya merasa ringan karena hanya tinggal sedikit saja yang harus disetorkan.
Rekreasi kelulusan ini benar-benar diadakan dengan sangat sederhana. Bisa dikatakan, sesuai budget yang disepakati. Tapi bukan berarti siswa kehilangan kegembiraan. Mereka tetap kompak dan gembira. Kebetulan sekolah mengadakan rekreasi ke pantai, sehingga anak-anak bisa main air, main bola, atau hanya sekadar berfoto bersama.
Para guru selaku panitia menyewa satu saung berukuran cukup lega untuk tempat berkumpul dan mengadakan acara perpisahan. Sementara sound system dibawa sendiri dari sekolah serta siswa atau orangtua dipersilakan membawa makan dan minum masing-masing dari rumah.
Agenda acara formalnya hanya berisi kata sambutan dari siswa, wali murid dan kepala sekolah. Kemudian dilanjutkan dengan bersalaman, berfoto serta ada sedikit persembahan kesenian, puisi dan lantunan lagu dari siswa. Tidak ada panggung megah atau hiasan-hiasan mewah, semuanya digelar secara sederhana dan hangat.
Tidak Akan Menjadi Polemik Jika Guru dan Orangtua Saling Bijak, Tulus dan Bersinergi
Jujur
Ketika polemik acara kelulusan TK, SD, SMP dan SMA mencuat di media, saya merasa cukup bersyukur karena tidak mengalami apa yang dikhawatirkan orangtua lainnya. Namun, bukan berarti saya tidak rispek dengan keluh kesah para orangtua yang merasa berat terbebani dengan biaya kelulusan yang barangkali tidak sedikit. Saya justru merasa turut prihatin dengan polemik tersebut, karena bagaimanapun saya juga orangtua dari tiga anak yang duduk di bangku SD dan SMA.
Meski demikian, kita tidak bisa serta merta menjustifikasi sekolah sedemikian rupa. Kita tidak tahu, yang dikeluhkan itu sekolahnya seperti apa, target pendidikannya bagaimana atau diperuntukkan untuk kalangan mana saja?
Tidak dapat dipungkiri, ada sekolah yang memiliki konsep mewah dengan fasilitas yang super canggih. Tentu saja, wajar jika SPP yang dikeluarkan mahal, uang gedungnya tinggi, termasuk biaya kelulusan yang besar. Para siswa yang sekolah di sini sudah pasti sebagian besar berada di kalangan keluarga yang sangat berkecukupan.
Nah, jangan-jangan yang dikeluhkan biaya kelulusan dengan berbagai versi judul seperti wisuda, rekreasi atau pensi berasal dari sekolah-sekolah yang memang berstandar biaya di atas rata-rata? Jika demikian, tentu ini akan menjadi wajar, harusnya tidak dipermasalahkan.
Tapi, jika yang dikeluhkan dari sekolah yang standar umum, saya rasa cukup masuk akal jika banyak orangtua yang mempermasalahkan biaya kelulusan atau perpisahan yang terlampau besar. Barangkali, kalau saya yang ada di posisi ini juga akan mengeluhkan hal yang sama.