Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Levianti
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Anastasia Levianti adalah seorang yang berprofesi sebagai Psikolog. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Cara agar Bisa Merdeka dari Keinginan Bercerai

Kompas.com, 31 Juli 2023, 19:29 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

 Akhir-akhir ini berita soal perceraian begitu marak hingga menjadi trending issue di mana-mana. Apa yang terjadi? Mengapa banyak orang memutuskan untuk bercerai dengan pasangannya? Apakah ada maksud tertentu ketika salah satu dari pasangan meminta cerai?

Menurut Loyola (dalam Darminta, 1993), sebagian besar pernikahan didorong oleh hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur. Dalam filsafat, hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur ini dikenal dengan istilah libido. Libido mengandung 2 unsur, yaitu target dan nafsu (Bunjamin, 2019, dalam Levianti, 2022).

Bisa dikatakan hampir semua perilaku masnusia, termasuk juga keputusan untuk menikah, tanpa sadar didorong oleh libidonya.

Berdasarkan sifat targetnya, libido dapat dibedakan menjadi 3, yaitu posenandi (nafsu untuk menikmati dan memiliki), dominandi (nafsu untuk berkuasa dan dituruti), serta adorandi (nafsu untuk menjadi baik-suci dan terluhur).

Individu yang tanpa sadar dikuasai oleh libido posenandi bisa saja memutuskan untuk menikah karena terdorong oleh keinginan untuk memiliki pasangannya, ingin lebih bahagia, dsb.

Individu dengan libido dominandi cenderung menikah untuk dapat mengatur pasangannya, mendobrak keterbatasan ataupun norma tradisional, dsb.

Sementara libido adorandi akan mendorong seseorang untuk menikah dalam rangka memenuhi ajaran kebenaran, meninggikan statusnya, dsb.

Agar lebih jelas dalam memahaminya, saya akan berikan gambaran singkat sebagai berikut.

Alkisah ada sepasang kekasih dewasa yang sudah berpacaran lama dan juga sudah merencanakan pernikahan dalam 2-3 tahun yang akan datang.

Namun mereka kemudian bersepakat untuk mempercepat pernikahannya dalam rangka memenuhi keinginan orang tua dari kedua belah pihak, mengingat ada salah satu orang tua yang kondisinya kritis. Semua pihak menganggap ini merupakan keputusan yang baik. Tanpa sadar, mereka digerakkan oleh libido adorandinya.

Meskipun sudah berpacaran lama dan tidak ada aral melintang dalam pernikahan dan kehidupan rumah tangga, namun tidak menjamin hubungan mereka bebas dari ancaman perceraian.

Ketika menginjak usia 9--12 tahun, ikatan pernikahan mereka bersifat kritis. Perasaan meragukan pasangan sebagai jodoh sejati mulai muncul. Godaan menaruh hati kepada lawan jenis yang lain mulai nyata menggiurkan. Keinginan bercerai mulai merongrong jiwa.

Mengapa begitu?

Berbagai penelitian yang dilakukan dalam bidang psikologi industri dan organisasi, menunjukkan bahwa rentang masa bakti 9--12 tahun bersifat kritis dalam hal komitmen kerja.

Ketika karyawan sudah mengabdi selama 9--12 tahun di sebuah perusaaan, mereka akan mengalami penurunan komitmen terhadap perusahaan dan pekerjaannya. Apakah komitmen kritis dalam rentang masa ini mungkin berlaku juga dalam hubungan pernikahan?

Tinjauan psikologi perkembangan dari Erikson, Marcia, Waterman, dkk. menempatkan fenomena tersebut sebagai bagian dari proses pencarian identitas dalam bidang pasangan hidup. Pencarian identitas ditandai dengan mempertanyakan kembali ketepatan komitmen pada saat ini (Marcia, 1993).

Seseorang yang kemudian terburu-buru memilih untuk kembali mencengkeram teguh komitmennya tanpa eksplorasi memadai cenderung akan menyesali keputusannya di usia tua nanti (status identitas foreclosure, yang berarti komitmen tinggi dan eksplorasi rendah).

Sebaliknya, ketika seseorang terburu-buru meninggalkan komitmen dan sembarangan bereksplorasi, dengan cara berselingkuh maupun kawin-cerai, cara itu juga akan menyeretnya dalam arus kebingungan dan kehampaan tak berujung (status identitas difusi, yang berarti komitmen dan kualitas eksplorasi rendah).

Lantas, jika sedang berada pada situasi seperti itu, apa yang mesti dilakukan?

Tentu kita harus masuk dan menyelami kedalaman refleksi jiwa dan menjajaki pemenuhan keinginan secara adaptif dan bijaksana (kualitas eksplorasi adekuat, menunjukkan status identitas moratorium).

Hal ini bertujuan untuk menetapkan komitmen secara teguh berdasarkan hasil eksplorasi mandiri yang memadai (status identitas achievement, di mana eksplorasi dan komitmen tinggi).

Pemahaman mengenai sifat kritis komitmen dalam rentang masa tertentu, serta kerangka perkembangan identitas dalam bidang pasangan hidup tersebut di atas membuat cengkeraman permasalahan mengendur.

Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana caranya kita dapat melakukan eksplorasi secara adekuat dalam rangka membangun komitmen nan teguh?

Eksplorasi adekuat dilakukan dengan cara menghadapi tantangan untuk mewujudkan tujuan. Hal tersebut berbeda dengan eksplorasi semu/palsu yang mencari-cari cara untuk menghindari tantangan dan takut mengambil tanggung jawab dalam menentukan tujuan.

Berhadapan dengan tantangan berarti fokus menyimak kenyataan, baik itu kenyataan yang ada di dalam dirinya maupun yang ada di luar dirinya. Oleh karena itu eseorang perlu mawas diri dan sadar untuk benar-benar dapat mengamati kenyataan.

Mawas diri dan kesadaran ini dapat dilatih antara lain melalui kebiasaan berjeda antar aktivitas (Sudrijanta, 2020). Jeda dilakukan pada saat kita usai melakukan satu kegiatan, dan sebelum memulai kegiatan yang baru. Waktu jeda tak perlu lama, cukup sekitar 3 menit. Yang dilakukan saat jeda ialah menikmati napas panjang secara teratur. Dengan begitu, ketegangan otot mengendur, kondisi rileks, dan tabir kesadaran atas kenyataan pun perlahan-lahan terbuka.

Lalu, unsur kedua dari eksplorasi adekuat adalah adanya orientasi mewujudkan tujuan. Ini berarti individu mau mengambil tanggung jawab/bersikap proaktif.

Menurut Covey (2001, dalam Saputra, 2001), kebiasaan proaktif dapat kita latih dengan "menekan tombol pause di dahi" (berhenti sejenak) sebelum bertindak.

Untuk membangun kemampuan berhenti dahulu sebelum langsung mengikuti dorongan bertindak ini kita dapat melakukan latihan berjeda antar aktivitas juga.

Latihan berjeda akan menumbuhkan kesadaran yang sifatnya pasif (pikiran berhenti) dan responsif (batin jernih, hidup, kreatif), atau kualitas pause yang adekuat. Kondisi batin yang pasif-responsif akan memudahkan kita untuk memilah dan memilih.

Maksud memilah di sini adalah melepaskan cengkeraman libido (ragam dorongan yang berdaya desak dan mendorong: posenandi, dominandi, adorandi).

Setelah desakan-dorongan reda, kita dapat memilih untuk tidak mengikuti kecenderungan reaktif-impulsif yang mengutamakan pemuasan kepentingan pribadi. Kita dapat leluasa memilih tindakan untuk memenuhi kebutuhan demi kebaikan bersama.

Kembali pada keinginan pasangan untuk bercerai dalam contoh kasus di atas. Setelah mengeksplorasi kedalaman diri dengan melakukan latihan diam dan berjeda setiap hari selama satu bulan penuh, nyatanya dorongan berselingkuh pun reda, keraguan pupus, dan tali komitmen menguat.

Seperti tunas pohon yang tumbuh perlahan ke atas dan semakin lama semakin kuat mengakar, demikian jugalah kualitas pernikahan mereka tumbuh berkembang.

Godaan tidak hilang, bahkan selalu tetap ada, hanya saja daya desaknya memudar perlahan-lahan, semakin lama semakin lemah, dan akhirnya minim sehingga tidak lagi terasa mengganggu dan mendorong penyimpangan.

Hawa nafsu dan kelekatan tidak teratur sudah jinak ditaklukkan. Keteraturan sejati di dalam diri ini mengarahkan kita untuk memilih bertindak menciptakan keteraturan secara alami. Buah keteraturan yang matang, bukan dipaksa oleh aturan dari luar diri.

Bila udang di balik batu perceraian sudah ditemukan dan dibudidayakan, adakah perceraian masih menjadi keinginan yang menjajah?***

Daftar Pustaka

  • Loyola, I. Latihan Rohani St. Ignasius Loyola. Darminta, J. 1993. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • [Pikir] Transformasi Masyarakat diakses pada 26 Mei 2023 pukul 18.14
  • Marcia, J. 1993. Ego Identity. New York: Springer New York, Inc.
  • Sudrijanta, J. 2020. Transformasi Penderitaan Menjadi Keindahan Hidup. Daring: Program Rumah Keheningan.
  • Covey, S., 2001. 7 Kebiasaan Remaja yang Sangat Efektif. Saputra, A. 2001. Jakarta: Binarupa Aksara.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Merdeka dari Keinginan Bercerai"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Kata Netizen
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Kata Netizen
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Kata Netizen
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Kata Netizen
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Kata Netizen
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Kata Netizen
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Kata Netizen
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Kata Netizen
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Kata Netizen
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Kata Netizen
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Kata Netizen
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Kata Netizen
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Kata Netizen
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Kata Netizen
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau