Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di gelaran pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024 nanti, Gibran Rakabuming Raka, Cawapres dari Koalisi Indonesia Maju masih berusia 36 tahun. Artinya, Gibran masih termasuk dalam klasifikasi generasi milenial.
Oleh karenanya, koalisi parpol dan sukarelawan pendukungnya yakin Gibran akan membawa daya tarik bagi Milenial dan Gen Z sebab ia adalah anak muda yang inovatif.
Sosok Gibran yang telah sukses mengelola tiga bisnis kulinernya sebelum terjun ke dunia politik dengan menjadi Wali Kota Surakarta memang sangat merepresentasikan karakter milenial pada umumnya yang kreatif, percaya diri, dan terbuka terhadap perubahan.
Selain itu, menurut hasil riset McCrindle dan Pew Research Center, generasi milenial juga dinilai paling mandiri dan loyal (setia).
Tapi, apakah hal tersebut akan menjamin terdongkraknya suara pemilih? Pada pemilu 2024 nanti, kira-kira pasangan capres-cawapres mana yang terbukti sanggup mendekati Milenial dan Gen Z?
Anak muda saat ini terbagi menjadi dua, yakni mereka yang termasuk dalam generasi Milenial dan mereka yang termasuk dalam Gen Z. Milenial adalah mereka yang lahir antara tahun 1981-1996 atau yang berusia 27-42 tahun di tahun 2023 ini.
Sementara mereka yang tergolong Gen Z adalah yang lahir di tahun 1997-2012 atau yang berusia 11-26 tahun di tahun 2023 ini.
Meski begitu, jika membicarakan konteks pemilih muda dan pemula, mereka yang masuk kategori Gen Z dapat dibagi menjadi dua lagi, yakni Gen Z dan Gen Z geriatri.
Gen Z adalah mereka yang tahun ini berusia 17-19 tahun maka dari itu mereka termasuk dalam kelompok pemilih pemula di pemilu 2024 nanti. Sementara Gen Z Geriatri adalah mereka yang tahun ini berusia 23-26 tahun, yang pada Pemilu 2024 nanti akan menjadi pengalaman kedua kalinya untuk memilih.
Maka dari itu, apabila pasangan capres-cawapres ingin mendapat suara dari semua pemilih muda ini, baik Milenial dan Gen Z, tim pemenangan dari tiap pasangan calon harus membuat strategi yang tepat untuk mengambil hati pemilih muda.
Pada bulan Juli lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Hasilnya ada 204.807.222 total pemilih di Indonesia.
Dari jumlah itu, mayoritas DPT ini merupakan Milenial dengan jumlah mencapai 68.822.389 atau sekitar 33,6% dari total pemilih. Sementara pemilih Gen Z berjumlah 46.800.161 atau 22,85% dari total pemilih. Artinya, jumlah pemilih muda yang akan ikut menyumbang suara di pemilu 2024 nanti berjumlah 115.622.550 orang.
Tim pemenangan pasangan Ganjar dan Mahfud untuk mengambil hati para pemilih muda bisa melakukan strategi dengan menunjukkan kemandirian mereka.
Artinya mereka bisa menunjukkan bahwa tanpa memiliki privilese atau hak istimewa sebagai anak orang kaya atau anak pejabat, mereka bisa menjadi politikus yang selalu “lurus”.
Sementara tim pemenangan pasangan AMIN bisa mendorong calon pemilih untuk melihat bahwa Anies adalah orang terpelajar yang bisa masuk ke pemerintahan berkat kecerdasannya.
Apabila pasangan AMIN ingin mendongkrak suara Nahdlatul Ulama (NU), mereka mesti memperbanyak juru kampanye dan sukarelawan perempuan dari Fatayat dan Muslimat. Sebab, milenial dan Gen Z geriatri masih mendukung isu kesetaraan laki-laki dan perempuan sepanjang hal itu masih dalam batas wajar.
Terakhir, untuk pasangan Prabowo dan Gibran tentu tidak perlu repot “menjual” nama Gibran, karena ayahnya saat ini masih menjabat sebagai presiden RI.
Pembangunan besar-besaran, kedekatan ayahnya dengan rakyat, dan tidak adanya oposisi memunculkan approval rating yang tinggi buat sang ayah. Approval rating itu salah satu yang membuat Koalisi Indonesia Maju (KIM) ngebet menjadikan Gibran sebagai cawapres Prabowo.
Hasil survei yang dilalukan oleh Indikator Politik Indonesia pada bulan April 2023 lalu mencatat bahwa 78,5% publik menyatakan puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo. Bahkan, angka tersebut juga memecahkan rekor tertinggi jika dibandingkan dengan 9 tahun terakhir.
Meskipun Gibran punya banyak limpahan dari jabatan dan approval rating ayahnya, namun perlu diingat bahwa pemilih muda menyukai kemandirian dan loyalitas.
Pemilih muda bisa saja menganggap Gibran tidak loyal karena ia menjadi cawapres dan bergabung dengan koalisi lain tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri dari partai asalnya, yakni PDIP.
Ditambah lagi momen Gibran maju jadi cawapres seakan seperti aji mumpung karena ayahnya masih menjadi presiden hingga beberapa bulan ke depan sebelum akhirnya Indonesia memiliki presiden dan wakil presiden baru. Hal itu, akan membuat pemilih muda sulit menganggap Gibran sebagai sosok yang mandiri.
Maka dari itu, tim pemenangan Prabowo-Gibran fokus saja “menjual” Gibran sebagai sosok yang kreatif dan inovatif. Bagaimana dengan Prabowo? Kemungkinan untuk menarik simpati pemilih muda agak susah, ditambah lagi dengan faktor pamornya yang sudah jauh menurun.
Di samping itu, Prabowo termasuk dalam generasi baby boomer yang karakternya cenderung dinilai kaku dan tidak bisa mengikuti zaman, dan terakhir ia juga memiliki jejak kelam yang berkaitan dengan HAM.
Hadirnya sosok Gibran sebagai cawapres di Pemilu 2024 nanti tentu menjadi daya tarik tersendiri, terutama bagi mereka yang tergolong Gen Z. Meski begitu Gibran akan dinilai sebagai sosok yang kurang memuaskan oleh milenial.
Genrasi Milenial yang paling muda tahun ini telah berusia 27 tahun, artinya mereka sudah paham mengenai proses demokrasi yang mendekati ideal. Mereka juga sudah mengerti apa dampak keputusan Mahkamah Konstitusi terkait penentuan batas usia capres-cawapres dengan demokratisasi itu sendiri.
Sementara itu Gen Z cenderung memilih berdasarkan kesamaan usia atau informasi apa yang sering sampai kepadanya.
Misalnya, seorang Gen Z bisa saja dari awal sudah menyenangi sosok Ganjar karena dinilai friendly dan tidak jaim. Akan tetapi karena circle pertemanan yang diikutinya lebih sering membicarakan betapa cerdasnya Anies Baswedan, maka bisa jadi pilihannya pun akan beralih ke Anies Baswedan.
Di musim kampanye sekarang untuk menarik suara pemilih muda dan pemula, strategi cyber campaign yang memanfaatkan media sosial, grup WhatsApp dan Telegram, serta berbagai platform video masih menjadi pilihan jitu, seperti yang dilakukan di Pilpres 2004 dan 2019.
Meski begitu tetap ada perbedaan antara Milenial dan Gen Z. Bila Milenial masih lebih menyukai bentuk kampanye tatap muka dengan diskusi dan adu ide, Gen Z tidak.
Mereka lebih menyukai materi berupa teks pendek dan yang serba visual, seperti video, meme, serta microblog. Meski begitu, Milenial dan Gen Z sama-sama menyukai kampanye berbentuk pesta seni.
Kalau melihat dari kacamata pemilih muda dan pemilih pemula, Ganjar dan Gibran bersaing ketat sebab keduanya aktif di media sosial X (dulu Twitter) dan Instagram.
Ganjar bahkan aktif di YouTube lewat kanalnya sendiri. Ketika Ganjar masih jadi Gubernur Jateng, kanal Pemprov Jateng selalu aktif menginformasikan pembangunan dan blusukan yang dilakukan Ganjar.
Setali tiga uang, Mahfud juga aktif di X termasuk menjawab pertanyaan dan menimpali isu kekinian yang berhubungan dengan sospolhukam. Sementara itu, pasangan AMIN ketinggalan dalam berinteraksi di medsos walau sukarelawan dan simpatisan Anies sudah sejak lama mendengungkan prestasi dan karakter unggul Anies.
Dengan melihat karakter umum milenial yang mandiri, kreatif, inovatif, loyal, dan terbuka terhadap perubahan, tim pemenangan capres-cawapres setidaknya bisa mengatur para sukarelawan dan pendengung untuk berkampanye secara smart and elegant. Bila suara Milenial berhasil direbut, banyak Gen Z akan mengikuti milenial untuk memutuskan capres-cawapres mana yang mereka coblos.
Presiden dan wakilnya memang dipilih oleh rakyat, tetapi proses memunculkan sosok capres-cawapres ada di tangan partai politik.
Rakyat seringnya tidak punya pilihan selain memilih yang sudah disediakan koalisi parpol. Bagaimana mekanisme dan proses penjaringan capres-cawapres pun rakyat pernah tidak tahu.
Meski begitu kita jangan sampai golput. Manfaatkan pemilu yang digelar lima tahun sekali ini untuk menggunakan hak suara kita untuk memilih calon yang kita anggap layak. Sebab, seperti apa yang Romo Magnis Suseno katakan, pemilu bukanlah untuk memilih yang terbaik, melainkan mencegah yang jahat berkuasa.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Cara Kampanye Capres-Cawapres yang Paling Disukai Pemilih Muda dan Pemula"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.