Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertama, ketika warung sederhana ini berfungsi menjaga masa kecil yang menyenangkan, ketika ia menjadi tempat untuk berutang apa saja, terutama jajanan.
Ketika masih tinggal di Perumnas IV, Jayapura, warung kecil ini hanya berjarak 50 meter dari rumah. Warung ini dimiliki oleh suami istri dari Toraja dan Minahasa; keluarga Kristiani yang taat dengan satu anak lelaki.
Karena ibu saya selalu harus ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang menjelang sore, maka tidak tersedia cukup waktu untuk menyiapkan makanan. Kecuali menanak nasi dengan sayur dan sambal.
Oleh karenanya di rumah tak memiliki cukup lauk, maka ibu saya selalu berpesan untuk selalu ambil di (warung) Mama Rizki jika perlu apa-apa.
Jadi, sesekali saya pergi ke warung milik Mama Rizki. Kebanyakan, seingat saya, untuk mengambil mi instan dan telur. Hanya perlu direbus sebentar dan siap disantap. Kemudian di setiap akhir bulan, ketika negara sudah membayar lelah ibu saya, utang-utang itu dibereskan.
Seiring berjalannya waktu, cerita perjumpaan hingga pada akhirnya perpisahan, Ibu saya tetap memelihara komunikasi dengan pemilik warung yang baik hati itu. Bahkan, Ibu saya yang sudah bermukim di Kulonprogo, Yogyakarta tetap tahu jika si Rizki anak pemilik warung sudah bekerja di sebuah bank dan menetap di sebuah kota di Papua.
Belakangan, Ibu saya memberi tahu jika Mama Rizki sudah meninggal. Ia dimakamkan di kampung halamannya, Kawangkoan, Minahasa.
Dari Jayapura, warung berjasa ini adalah saksi dari tetangga kami yang baik. Lebih dari fungsi sosial yang menyangga kesibukan ibu yang bekerja di luar rumah, mereka adalah tetangga yang menjaga harmoni sosial dalam kehidupan umat beragama yang majemuk.
Kedua, saat warung sederhana ini bekerja sebagai penyelamat di masa-masa menempuh studi perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara.
Di sana ada warung sederhana yang dikelola oleh keluarga Kristiani taat dari Sangihe. Mereka juga memiliki kos-kosan dan saya adalah salah satu penghuninya. Layaknya warung milik Mama Rizki di Jayapura, warung ini pun hanya menjual barang keperluan sehari-hari.
Di masa itu, saya hanya memiliki uang kiriman sebesar Rp300.000 setiap bulannya. Dari jumlah itu, sebanyak Rp200.000 digunakan untuk membayar sewa kos setiap bulannya.
Dari uang sisa sebesar Rp100.000 itu saya gunakan untuk membeli makan selama kurang lebih satu minggu pertama sejak menerima uang kiriman.
Selain itu, saya juga masih bisa menggunakan sisa uang itu untuk membeli buku-buku tua yang murah.
Untuk bisa melanjutkan hidup di sisa tiga minggu setiap bulannya, saya berutang mi instan rasa ayam bawang di warung itu setiap hari selama nyaris dua tahun.
Meski begitu, bukan berarti mengabaikan kritik George Aditjondro terhadap monopoli gandum dan kritik pangan di balik banjir mi instan. Namun faktor kepraktisan, harga murah, dan tidak kelaparan adalah musabab utamanya.