Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Akibat makan mi instan selama itu, di tahun ketiga, tubuh ringkih saya akhirnya dihantam demam tifus stadium 2. Dalam waktu dua minggu kemudian, saya dirawat khusus di RS Siti Maryam.
Bagaimanapun haru biru penderitaan yang saya alami karena keputusan yang salah, warung kecil itu tetaplah penyelamat sekaligus peringatan. Sejak keluar dari perawatan khusus, saya memutuskan bercerai seumur hidup dan seluruh jiwa raga dengan mi instan rasa ayam bawang.
Akan tetapi, kenangan akan pergulatan menjaga batas aman subsistensi mahasiswa selama di kos-kosan tidak saya rawat hingga kini. Tentu ini sangat berbeda dengan ibu saya yang notabene adalah salah satu pengorganisir hidup bertetangga terbaik yang pernah ada.
Sejak keluar di kos-kosan tersebut, saya memilih melakoni hidup sebagai nomad. Berpindah-pindah alias menumpang dari asrama ke asrama paguyuban.
Berpuluh tahun kemudian sejak hari itu, saya bertemu lagi dengan warung serupa di kaki Gunung Klabat, Minahasa Utara. Pemilik warung ini adalah keluarga Kristiani Batak.
Namun, tentu saja saya tidak lagi datang untuk mengajukan utang, meski begitu saya masih mendapati percakapan berikut.
"Belum ke Kalimantan lagi?"
"Belum Om, masih di rumah dulu."
Pertanyaan yang mungkin basa-basi tapi rasanya lebih baik dari dialog di bawah ini.
"Om, nda sekalian beli Teh Pucuk? Lagi promo. Beli dua cuma, bla..bla..bla.."
***
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Jasa Warung Kecil dalam Dua Sumbangsih"