Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
S Aji
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama S Aji adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Dua Sumbangsih Warung Kecil beserta Kenangan-Kenangannya

Kompas.com, 20 November 2023, 15:56 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ketika menghabiskan waktu di Jawa Timur pada tahun 2014, perjumpaan saya dengan jaringan minimarket semakin akrab. Pada masa itu di saat bersamaan gerai pertama minimarket dibuka di Manado.

Jika dibandingkan dengan yang terjadi di Jawa Timur, seperti katakanlah di Malang, Manado memang mengalami "ketertinggalan" sekitar 14 tahun. Pasalnya, Malang telah memiliki gerai minimarket sejak 22 April 2000.

Sementara untuk gerai minimarket pertama sendiri telah dibuka di Ancol, Jakarta Utara sejak 20 Juni 1988.

Sejak perkenalan dan perjumpaan saya dengan jaringan minimarket ini, rasanya ada daya dorong lain yang menggerakkan desa-desa menuju kota, selain proyek ambisius seperti pembangunan mal, perhotelan, dan perumahan kelas menengah.

Pada masa sekarang, tenaga dorong yang menyeragamkan itu berhubungan dengan konsumsi barang-barang keperluan yang sebelumnya tidak cukup dilayani warung tradisional.

Atau dengan kata lain rangkaian konsumsi kolektif yang dinamis ini adalah upaya memindahkan apa yang membentuk preferensi seseorang sebagai penduduk kota ke desa-desa. Apalagi, jaringan minimarket itu belakangan menyediakan layanan transaksi non-tunai.

Oleh karenanya, kehadiran jaringan gerai minimarket ini akan memberi perubahan pada pola konsumsi orang desa, di samping juga jenis barang yang ditawarkan lebih beragam.

Di lain sisi, bisa juga dikatakan bahwa sejarah perkembangan jaringan minimarket ini menandai gerak ekspansi dari Barat ke Timur.

Ia menandai kisah pergerakan dari pusat (centre) ke pinggiran (periphery), dari wilayah yang padat ke wilayah yang sepi. Dalam ekspansi inilah, kita melihat nasib surut dari warung-warung tradisional yang umumnya berada di sekitar pemukiman.

Tidak sedikit warung-warung kecil yang kemudian tumbang karena kalah saing dengan kemunculan gerai minimarket. Atau jikapun bisa bertahan, mereka akan menggunakan cara yang dibisa-bisakan.

Seperti alunan musik yang getir di pusat napas jelata. Mati segan, hidup ogah-ogahan. Hingga yang tersisa adalah kenang-kenangannya.

Dalam rangka membicarakan kenangan-kenangan itulah, warung kecil sejatinya bukanlah sebuah toko dalam artian fisik dan ekonomi belaka. Pada konteks ini, ia merupakan sebuah tempat yang difungsikan untuk menjual barang-barang keperluan sehari-hari di sebuah permukiman penduduk.

Lebih dari itu, warung sederhana ini juga berperan sebagai unit sosial yang mengantarai hubungan-hubungan sosial yang saling percaya, akrab, dan karena itu harmonis.

"Percakapan tentang keberadaan, nasib, dan kenangan terhadap warung-warung kecil yang berjasa lantas musnah adalah membicarakan bagaimana masyarakat tumbuh dan patah."

Bagi saya, paling tidak ada dua sumbangsih warung kecil ini yang akan selalu membekas dalam ingatan.

Pertama, ketika warung sederhana ini berfungsi menjaga masa kecil yang menyenangkan, ketika ia menjadi tempat untuk berutang apa saja, terutama jajanan.

Ketika masih tinggal di Perumnas IV, Jayapura, warung kecil ini hanya berjarak 50 meter dari rumah. Warung ini dimiliki oleh suami istri dari Toraja dan Minahasa; keluarga Kristiani yang taat dengan satu anak lelaki.

Karena ibu saya selalu harus ke sekolah pagi-pagi sekali dan pulang menjelang sore, maka tidak tersedia cukup waktu untuk menyiapkan makanan. Kecuali menanak nasi dengan sayur dan sambal.

Oleh karenanya di rumah tak memiliki cukup lauk, maka ibu saya selalu berpesan untuk selalu ambil di (warung) Mama Rizki jika perlu apa-apa.

Jadi, sesekali saya pergi ke warung milik Mama Rizki. Kebanyakan, seingat saya, untuk mengambil mi instan dan telur. Hanya perlu direbus sebentar dan siap disantap. Kemudian di setiap akhir bulan, ketika negara sudah membayar lelah ibu saya, utang-utang itu dibereskan.

Seiring berjalannya waktu, cerita perjumpaan hingga pada akhirnya perpisahan, Ibu saya tetap memelihara komunikasi dengan pemilik warung yang baik hati itu. Bahkan, Ibu saya yang sudah bermukim di Kulonprogo, Yogyakarta tetap tahu jika si Rizki anak pemilik warung sudah bekerja di sebuah bank dan menetap di sebuah kota di Papua.

Belakangan, Ibu saya memberi tahu jika Mama Rizki sudah meninggal. Ia dimakamkan di kampung halamannya, Kawangkoan, Minahasa.

Dari Jayapura, warung berjasa ini adalah saksi dari tetangga kami yang baik. Lebih dari fungsi sosial yang menyangga kesibukan ibu yang bekerja di luar rumah, mereka adalah tetangga yang menjaga harmoni sosial dalam kehidupan umat beragama yang majemuk.

Kedua, saat warung sederhana ini bekerja sebagai penyelamat di masa-masa menempuh studi perguruan tinggi di Manado, Sulawesi Utara.

Di sana ada warung sederhana yang dikelola oleh keluarga Kristiani taat dari Sangihe. Mereka juga memiliki kos-kosan dan saya adalah salah satu penghuninya. Layaknya warung milik Mama Rizki di Jayapura, warung ini pun hanya menjual barang keperluan sehari-hari.

Di masa itu, saya hanya memiliki uang kiriman sebesar Rp300.000 setiap bulannya. Dari jumlah itu, sebanyak Rp200.000 digunakan untuk membayar sewa kos setiap bulannya.

Dari uang sisa sebesar Rp100.000 itu saya gunakan untuk membeli makan selama kurang lebih satu minggu pertama sejak menerima uang kiriman.

Selain itu, saya juga masih bisa menggunakan sisa uang itu untuk membeli buku-buku tua yang murah.

Untuk bisa melanjutkan hidup di sisa tiga minggu setiap bulannya, saya berutang mi instan rasa ayam bawang di warung itu setiap hari selama nyaris dua tahun.

Meski begitu, bukan berarti mengabaikan kritik George Aditjondro terhadap monopoli gandum dan kritik pangan di balik banjir mi instan. Namun faktor kepraktisan, harga murah, dan tidak kelaparan adalah musabab utamanya.

Akibat makan mi instan selama itu, di tahun ketiga, tubuh ringkih saya akhirnya dihantam demam tifus stadium 2. Dalam waktu dua minggu kemudian, saya dirawat khusus di RS Siti Maryam.

Bagaimanapun haru biru penderitaan yang saya alami karena keputusan yang salah, warung kecil itu tetaplah penyelamat sekaligus peringatan. Sejak keluar dari perawatan khusus, saya memutuskan bercerai seumur hidup dan seluruh jiwa raga dengan mi instan rasa ayam bawang.

Akan tetapi, kenangan akan pergulatan menjaga batas aman subsistensi mahasiswa selama di kos-kosan tidak saya rawat hingga kini. Tentu ini sangat berbeda dengan ibu saya yang notabene adalah salah satu pengorganisir hidup bertetangga terbaik yang pernah ada.

Sejak keluar di kos-kosan tersebut, saya memilih melakoni hidup sebagai nomad. Berpindah-pindah alias menumpang dari asrama ke asrama paguyuban.

Berpuluh tahun kemudian sejak hari itu, saya bertemu lagi dengan warung serupa di kaki Gunung Klabat, Minahasa Utara. Pemilik warung ini adalah keluarga Kristiani Batak.

Namun, tentu saja saya tidak lagi datang untuk mengajukan utang, meski begitu saya masih mendapati percakapan berikut.

"Belum ke Kalimantan lagi?"

"Belum Om, masih di rumah dulu."

Pertanyaan yang mungkin basa-basi tapi rasanya lebih baik dari dialog di bawah ini.

"Om, nda sekalian beli Teh Pucuk? Lagi promo. Beli dua cuma, bla..bla..bla.."

***

 Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Jasa Warung Kecil dalam Dua Sumbangsih"

 
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau