Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Hanya saja, sistem ini masih dikeluhkan oleh banyak orang tua karena stigma sekolah favorit ini sudah begitu melekat di benak banyak orang.
Belum lama ini pemerintah lewat Kemendikbudristek menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2023 tentang sarana dan prasarana sekolah. Dalam peraturan ini memuat kriteria minimal sarana dan prasarana yang harus tersedia pada satuan pendidikan.
Terbitnya peraturan menteri ini diharapkan ada langkah lanjutan dengan mengadakan sensus infrastruktur dan prasarana sekolah.
Pasalnya data dari BPS menyatakan ada 60% ruang kelas SD di Indonesia kondisinya rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran 2021/2022, sementara untuk sekolah SMP dan SMA tercatat 50-60% ruang kelasnya dalam kondisi rusak ringan atau sedang.
Akan tetapi, data itu baru sekadang catatan laporan saja, belum ada data konkret yang menghimpun secara detail mengenai bagian apa saja yang rusak dalam bangunan sekolah tersebut.
Maka dari itu, perlu adanya sensus yang menyeluruh mengenai sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia dan mesti melibatkan berbagai pihak, mulai dari komunitas penggiat pendidikan hingga komite sekolah.
Data yang terhimpun nantinya harus dimuat secara online dan realtime dalam satu web online khusus yang merilis data sekolah di seluruh Indonesia yang bisa diakses oleh semua pihak dan masyarakat.
Di samping menghimpun data lewat sensus, perlu juga diterapkan sistem untuk mutasi guru secara berkala. Sebab kita tidak bisa menilai secara subjektif mana guru yang cakap dan mana yang hanya mengajar dengan ala kadarnya.
Maka dari itu perlu ada mutasi guru secara berkala dalam satu wilayah kecamatan, kota atau kabupaten, tergantung jenjang pendidikan dan posisinya.
Tujuannya adalah agar tidak ada sekolah negeri yang hanya diisi oleh formasi guru yang itu-itu saja. Dengan demikian secara tak langsung sekolah-sekolah negeri di satu wilayah tidak lagi ada dikotomi guru-guru yang kompeten di satu sekolah yang sama, tetapi tersebar ke semua sekolah di wilayah tersebut.
Masalah lain yang perlu dilakukan untuk menghilangkan stigma soal sekolah favorit adalah dengan meninjau ulang nama sekolah negeri yang menggunakan nomor.
Terkait penggunaan nomor sebagai nama sekolah negeri, sebuah pertanyaan mendasar muncul, mengapa harus menggunakan urutan nomor angka?
Contohnya seperti SMA Negeri 1 Surabaya atau SD Negeri 16 Mangkubumen Lor. Alasan yang sering kali dikemukakan adalah untuk memudahkan administrasi, namun hal tersebut justru dapat memperkuat stigma sekolah negeri favorit.
Sebagai alternatif, nama sekolah negeri bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih mencerminkan identitas lokal, seperti menggunakan nama kelurahan atau desa tempat sekolah tersebut berada.
Meskipun penggantian nama ini mungkin akan menimbulkan biaya, namun langkah ini dapat mereduksi stigma sekolah favorit dan meningkatkan keadilan dalam dunia pendidikan.