Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nurul Mutiara R A
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Nurul Mutiara R A adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Pendidikan Indonesia Harus Bebas dari Guru dengan Sifat Bully

Kompas.com, 22 Februari 2024, 20:00 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com


"Aduh, Mbak, kenapa kayak gitu aja nggak bisa. Makanya kamu tuh belajar jangan kebanyakan melamun.."

Di antara kita mungkin ada yang pernah mendapat ledekan seperti itu dari guru kita di sekolah. Akan tetapi, jika tidak pernah maka itu patut disyukuri. Sebab tipe-tipe guru yang seperti ini akan bisa membuat kita stres, dampaknya akan sangat mengerikan.

Pengalaman seperti itu saya lihat sendiri. Ada saja guru yang memiliki kebiasaan meledek siswanya. Di waktu itu ada teman saya sebut saja Astri.

Di kelas, Astri termasuk anak yang pandai di bidang olahraga. Dalam hal permainan bola basket atau voli, dia termasuk anak yang pandai. Meski begitu, ia memiliki kelemahan pada mata pelajaran bahasa asing.

Suatu hari, Astri mendapat giliran untuk menjawab soal dari sang guru untuk mengubah kalimat bahasa Indonesia ke bahasa asing. Astri tidak bisa mengerjakannya. Melihat Astri yang tak bisa mengerjakan, Sang Guru hanya meringis seraya mengeluarkan ekspresi muka yang tak menyenangkan.

Lalu ketika sang guru melihat siswa lain dengan mudah dapat mengerjakannya, ia kemudian mengeluarkan komentar yang meledek Astri. 

"Masak jawab soal semudah itu aja gak bisa. Kalian cuma bisanya plonga-plongo, ketip ketip gak jelas. Sebenarnya kalian itu tiap hari belajar apa sih?"

Lebih parahnya, kisah soal teman Astri yang tak bisa mengerjakan soal sederhana ini sudah tersebar ke kelas-kelas dan guru lainnya.

Akibatnya, sejak saat itu setiap bertemu dengan Sang Guru, Astri hanya bisa diam sembari memendam kekesalan.

Menyoal Guru yang Suka Merundung Siswa 

Di dunia ini tak bisa dimungkiri memang ada berbagai macam karakteristik guru, termasuk salah satunya mereka yang hobi merundung siswanya.

Mendapat pengalaman diajar oleh guru yang hobi meerundung siswanya membuat saya pernah membenci satu hari ketika guru itu mengajar.

Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia, Prof. Dinn Wahyudin memberikan salah satu contoh sikap guru yang bisa membuka peluang bullying di sekolah, yakni mengomentari bentuk tubuh siswanya. Itu bernilai body shaming.

Pada awalnya mungkin ledekan soal bentuk tubuh dianggap sebagai candaan ringan yang bertujuan untuk membuat suasana kelas menjadi rileks. Akan tetapi, jika terjadi terus menerus, hal itu sudah termasuk kebiasaan buruk Sang Guru. Dan ia tidak akan sadar bahwa hal yang ia lontarkan sebenarnya sudah tergolong perundungan terhadap siswanya.

Beberapa waktu lalu sempat ramai menjadi perbincangan di media sosial soal guru yang meledek siswanya karena membawa bekal berisi ulat sagu. Dalam satu video, Sang Guru mengatakan bahwa di zaman yang modern ini bekal ulat sagu sudah sangat kuno.

Akibat celoteh sang guru, anak yang membawa bekal ulat sagu jadi mendapat ledekan tak hanya dari gurunya, namun juga dari teman-temannya yang lain.

Menurut seorang psikolog sekaligus Founder & CEO Ruangtumbuh, Irma Gustiana A, ada beberapa alasan mengapa seorang guru tega merundung siswanya, antara lain sebagai berikut.

Faktor psikologis. Faktor ini berkaitan dengan emosi dan pengendalian dalam diri Si Guru, pengalaman masa lalu, kepribadian guru yang temperamen, rendahnya konsep menghargai orang lain, atau punya masalah dengan anger management issue maupun masalah psikologis lain.

Faktor biologis. Saat Sang Guru sedang mengalami kelelahan fisik atau mental, biasanya menjadi lebih sensitif terhadap situasi yang terjadi, seperti siswa yang sudah dinasihati atau keadaan kelas yang riuh/berisik.

Faktor sosial. Bisa saja ini berkaitan dengan latar belakang keluarga, pendidikan, kondisi finansial, dan minimnya dukungan rekan kerja serta sekolah.

Melihat masih kerap terjadinya perundungan yang dilakukan guru terhadap siswanya tentu membuat saya pribadi begitu prihatin. Akan sangat disayangkan bila hal seperti ini terus berlanjut dan tidak ada penanganan serius yang dilakukan baik oleh pihak sekolah khususnya dan oleh pemerintah secara umum.

Harapannya, orangtua peserta didik juga bisa terus mengontrol keadaan anaknya dan selalu menanyakan bagaimana pengalamannya menjalani kegiatan bersekolah setiap harinya agar bisa tahu apakah ia mengalami sesuatu yang tidak mengenakan atau tidak di sekolah.

Jika memang ternyata Sang Anak mengalami sesuatu yang tak mengenakan di sekolah, orangtua jadi bisa mengambil tindakan penanganan secepatnya agar tak menimbulkan dampak negatif pada Sang Anak.

Semoga pendidikan Indonesia akan terbebas dari guru yang hobi merundung agar situasi belajar-mengajar di sekolah menjadi nyaman dan menyenangkan.

Salam hangat dari Nurul Mutiara R A 

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Guru Harus Bebas dari Sifat Bully, Setuju?"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Rajabasa dan Pelajaran Tentang Alam yang Tak Pernah Bisa Diremehkan
Kata Netizen
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Harga Buku, Subsidi Buku, dan Tantangan Minat Baca
Kata Netizen
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Rapor Anak dan Peran Ayah yang Kerap Terlewat
Kata Netizen
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Merawat Pantun, Merawat Cara Kita Berbahasa
Kata Netizen
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Bukan Sekadar Cerita, Ini Pentingnya Riset dalam Dunia Film
Kata Netizen
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Sumatif di SLB, Ketika Penilaian Menyesuaikan Anak, Bukan Sebaliknya
Kata Netizen
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Dari Penonton ke Pemain, Indonesia di Pusaran Industri Media Global
Kata Netizen
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Hampir Satu Abad Puthu Lanang Menjaga Rasa dan Tradisi
Kata Netizen
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Waspada Leptospirosis, Ancaman Penyakit Pascabanjir
Kata Netizen
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Antara Loyalitas ASN dan Masa Depan Karier Birokrasi
Kata Netizen
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Setahun Coba Atomic Habits, Merawat Diri lewat Langkah Sederhana
Kata Netizen
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Mengolah Nilai Siswa, Tantangan Guru di Balik E-Rapor
Kata Netizen
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Pernikahan dan Alasan-alasan Kecil untuk Bertahan
Kata Netizen
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Air Surut, Luka Tinggal: Mendengar Suara Sunyi Sumatera
Kata Netizen
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Pacaran Setelah Menikah, Obrolan Berdua Jadi Kunci
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Rp
Minimal apresiasi Rp 5.000
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau