Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Novaly Rushans
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Novaly Rushans adalah seorang yang berprofesi sebagai Relawan. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Riset Membuktikan Kesepian Lebih Berbahaya daripada Merokok

Kompas.com, 29 Februari 2024, 22:21 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kesepian, sebuah realitas yang semakin merajalela di dunia modern, telah menjadi ancaman yang perlu dihadapi dalam keseharian kita. Di tengah kehidupan yang tergesa-gesa, penuh dengan kemajuan teknologi, dan keterhubungan digital, kita seringkali lupa untuk melihat dampak yang mungkin ditimbulkan oleh kesepian.

Fenomena kesepian ini tidak pandang tempat tinggal, tidak hanya memengaruhi mereka yang tinggal di daerah terpencil atau terisolasi, tetapi juga merambah ke pusat-pusat kota besar yang dipenuhi dengan kehidupan sehari-hari yang sibuk.

Seringkali, kita terfokus pada kehidupan bising dan serba cepat di kota-kota besar, sehingga melupakan bahwa di tengah gemerlapnya kehidupan kota, ada orang-orang yang menghadapi kesepian. Padahal, mereka mungkin tinggal di apartemen modern, di rumah kelas menengah atas, bahkan beberapa dari mereka hidup bersama pasangan dan keluarganya sendiri.

Namun, kehidupan mereka tidak selalu tercermin dalam keramaian kota. Mereka cenderung menutup diri di dalam kamar, menghindari interaksi sosial, dan menjalani hari-hari mereka dengan aktivitas yang tidak produktif seperti tidur, makan, minum, dan sesekali keluar hanya untuk ke kamar kecil. Di Jepang, mereka dikenal sebagai kaum hikikomori, yakni orang-orang yang mengisolasi diri sendiri hingga berbulan-bulan bahkan bisa bertahun-tahun.

Kaum hikikomori di Jepang adalah gambaran nyata dari dampak kesepian yang mendalam. Mereka, yang dominan berusia remaja dan dewasa awal, sering kali mengalami tekanan internal dan eksternal yang berkontribusi pada isolasi sosial mereka.

Tidak hanya mengurung diri dari dunia luar, mereka bahkan memutus komunikasi dengan anggota keluarganya di rumah. Dalam konteks ini, perilaku hikikomori dapat dilihat sebagai tanda gangguan kesehatan mental yang serius.

Tentu saja, tingkat depresi pada setiap individu hikikomori bervariasi. Kesepian tanpa teman, tanpa aktivitas sosial yang berarti, lambat laun akan memberikan dampak pada kesehatan fisik. Pola tidur menjadi terganggu, dengan kecenderungan menjadi nokturnal, beraktivitas di malam hari, dan tidur di siang hari.

Pola makan dan minum juga berubah, tidak lagi memenuhi komposisi makanan sehat. Aktivitas fisik yang kurang menjadi kebiasaan, tanpa olahraga atau aktivitas fisik yang cukup untuk seseorang yang hidup normal.

Kesepian Ditetapkan WHO sebagai Ancaman Kesehatan Global

Melihat besarnya dampak kesepian pada kesejahteraan seseorang, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah memberikan perhatian khusus pada kesepian sebagai ancaman kesehatan global.

Kesepian bukan hanya sekadar perilaku yang perlu diwaspadai, tetapi juga sebuah pencetus dan dampak bagi kesehatan mental. Kesepian dapat dipicu oleh berbagai faktor, termasuk tekanan pekerjaan, perundungan, kesulitan ekonomi, masalah hubungan, hingga ancaman fisik dan kekerasan.

Di berbagai negara, kesepian telah menjadi faktor utama yang berkontribusi pada gangguan kesehatan mental, mulai dari tingkat ringan hingga berat yang bahkan dapat memicu tindakan bunuh diri. Oleh karena itu, penanganan kasus kesepian menjadi semakin mendesak, dengan fokus pada pencegahan dan pengobatan masalah kesehatan mental yang muncul.

Negara maju juga tidak luput dari tantangan kesepian. Swedia, sebagai contoh, dikenal sebagai negara paling kesepian di dunia menurut World Atlas. Faktor mudahnya membeli rumah dan perubahan konstruksi sosial membuat sebanyak 47% penduduk Swedia memilih untuk hidup sendiri. Pemerintah Swedia bahkan berusaha mengatasi masalah ini dengan mempromosikan rumah bersama, namun upaya ini tidak selalu berhasil mengatasi tingginya tingkat kesepian.

Tren tinggal sendiri juga terlihat di negara-negara maju lainnya. Menikah tidak lagi menjadi hal yang menarik bagi sebagian besar warga yang tinggal di negara maju. Menunda, bahkan memilih untuk tidak menikah menjadi salah satu penyebab banyaknya orang hidup dalam kesepian. Jika pun memutuskan menikah, mereka cenderung tidak ingin memiliki anak alias childfree.

Jepang, sebagai negara dengan tantangan populasi lanjut usia dan tingkat kelahiran yang rendah, juga menghadapi permasalahan serupa. Harapan hidup yang tinggi, yakni mencapai rata-rata 83 tahun, tidak berbanding lurus dengan kualitas hidup yang justru sungguh sulit akibat biaya hidup yang tinggi. Lansia di Jepang bahkan ada yang rela melakukan tindakan kriminal agar dapat ditahan dan hidup secara gratis dengan jaminan kesehatan yang ditangguh penuh pemerintah.

Langkah-langkah untuk Mengatasi Kesepian

Kesepian bisa dialami oleh siapa saja, tidak peduli apakah ia anak-anak, dewasa, atau lansia sekalipun. Meski terlihat sepele, kesepian justru memiliki dampak yang begitu berbahaya, baik untuk fisik maupun mental seseorang. Kesepian dinilai dapat mengganggu tekanan darah, perubahan berat badan, gangguan pencernaan, kerja jantung dan pembuluh darah. Di samping itu, kesepian juga disebut dapat menurunkan tingkat kognitif seseorang hingga 20%.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kata Netizen
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Kata Netizen
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kata Netizen
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Kata Netizen
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau