Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam banyak kasus, terutama bagi kelas menengah bawah yang telah bertahun-tahun berjuang melawan siklus penurunan ekonomi, kita seringkali dianggap sebagai orang-orang yang tidak konsisten. Sebagai orang yang bekerja keras tetapi hidup dalam kondisi yang biasa-biasa saja, kemarahan kita mudah tersulut karena terganggunya kenyamanan pribadi.
Secara tegas, dalam pandangan golongan politik Kiri, kelas menengah bawah dianggap sebagai kelompok yang tidak berarti, egois, dan kurang memiliki ideologi.
Di sisi lain, di dalam hierarki yang sama, kita mungkin tidak pernah dianggap layak untuk naik ke tingkat atas. Terutama bagi mereka yang merupakan bagian dari sedikit keluarga yang disebut setiap tahun dalam majalah Forbes.
Usaha keras kita tidak pernah cukup. Mungkin ada beberapa pengecualian, ketika seseorang mencapai posisi tertentu dalam hierarki sosial (dan tentu saja tidak lagi menghabiskan waktu untuk berdebat di Kompasiana).
Karena itu, di sisi yang lain, kita mungkin merasa terjebak. Beberapa di antara kita mungkin hanya mampu bekerja selama 40 jam seminggu namun pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk membayar cicilan rumah, biaya perawatan kulit bulanan, biaya pendidikan anak, berlangganan layanan internet, hingga biaya servis kendaraan.
Kerja keras kita belum cukup untuk membawa perubahan nasib. Kita masih belum dianggap layak untuk naik kelas sosial.
Terjepit dalam kondisi yang sulit, kita seringkali merasa tercekik setiap bulannya, namun tidak ada pilihan lain selain bertahan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kelas Menengah Bawah: Terkutuk di Kanan, Tersudutkan di Kiri"