Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Membaca kiasan badan dengan benar, memahami bahasa badan dengan lebih sensitif, adalah sebuah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaan dan masyarakat, juga di Indonesia.
Dari warisan renungan Ignas Kleden, saya lantas tergerak membaca ulang kumpulan puisi sang penyair kelahiran Sukabumi yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Gramedia, 2022).
Ini kutipan bait pertamanya:
Di bawah kibaran sarung, anak-anak berangkat tidur
di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur
yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi
seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung,
mata yang dalam dan cekung.
"Hidup orang miskin!"pekiknya
sambil membentangkan sarung.
Kibaran sarung (dan bukan bendera negara) adalah pelindung bagi orang-orang miskin kala menidurkan nasibnya.
Jadi, jika kita kembali pada apa yang coba tuturkan oleh Ignas Kleden sarung dalam puisi itu tidak lagi berhenti sebagai atribut ekstrinsik (sesuatu yang berada di luar).
Sarung akhirnya telah menjadi bagian dari pergulatan sehari-hari dari nasib miskin dan batuk yang berbunyi sepanjang malam.
Sarung adalah bentuk simbolik, bagian dari ekspresi kebudayaan orang-orang miskin, walau tidak lantas bermakna dimonopoli oleh mereka yang malang. Oleh Joko Pinurbo, kegetiran, kenestapaan dan permainan humor yang sendu diimbuhkan; sedih tapi lucu.
Walau begitu, sarung jelas baru satu perkara saja. Ada satu puisinya yang secara tak sengaja saya temukan rak Toga Mas belum lama ini.
Puisi yang juga pendek saja ini berhasil menghadirkan lagi memori akan sebuah tempat yang identik dengan keseharian jelata, ngobrol dan nasib, serta cahaya remang di bawah malam.
***
Puisi-puisi Joko Pinurbo telah berhasil menggenapkan kesedihan ini, pada hari yang mana ia berpulang.
Joko Pinurbo mengabdikan hidup sebagai guru yang secara sungguh-sungguh membuat akrab dengan puisi yang pintar menertawakan tragedi sembari bermain dengan ironi.
***
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Terima Kasih Joko Pinurbo"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.