Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ajeng Leodita Anggarani
Penulis di Kompasiana

Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Adakah Cara Mengingatkan Temanmu yang Terindikasi Tone Deaf?

Kompas.com - 31/08/2024, 09:49 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Sebagai manusia yang adalah makhluk sosial kita memang membutuhkan orang lain untuk berinteraksi.

Hal ini sudah kita pelajari sejak kita kecil. Kita selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam beberapa hal. Memang kodratnya sudah seperti itu.

Salah satu cara untuk tetap bersosialisasi dengan banyak orang di sela kesibukan yakni dengan mempergunakan media sosial.

Dengan media sosial kita bisa tetap terhubung dengan orang-orang lama bahkan bisa menambah kenalan orang-orang baru.

Bahkan sampai ada sebutan the power of social media untuk menunjukkan seberapa saktinya peran media sosial dalam sejumlah perubahan atau aksi pada sebuah negara.

Sebagian dari kita yang merasa media sosial adalah wadah di mana kita bisa update segala aktivitas, momen penting, bahkan meluapkan perasaan.

Tak sedikit pula, media sosial digunakan sebagai lapak sindir menyindir baik untuk orang yang ada dalam pertemanan media sosial sampai mengkritisi pemerintah.

Hal tersebut lumrah dilakukan jika masih masuk dalam kaidah kesopanan dan kepantasan.

Namun, siapakah yang berhak menilai itu atas apa yang menjadi kebebasan melakukan sesuatu di media sosial kita pribadi?

Rasanya tidak seru jika membahas sesuatu tanpa ada contoh kasus, ya?

Jadi begini, sampai hari ini, masih ada saja orang yang kerap mem-blowup masalah pribadi di media sosial mereka. Banyak kemungkinan yang muncul dari ide untuk membagikan masalah itu di media sosial.

Ada di antara mereka yang memang ingin mencari solusi, ada yang sekadar ingin meluapkan perasaan saja, ada pula yang memang mencari perhatian pada khalayak ramai atau seseorang yang secara dituju secara khusus.

Namun, kadang, maksudnya belum sampai tapi justru malah menimbulkan komentar publik yang menganggap isi unggahan kita sebagai sesuatu yang justru memalukan alias membuka aib sendiri.

Saya pernah memiliki teman yang kerap menceritakan masalah pribadinya, dalam hal ini berkaitan dengan rumah tangga.

Mulai dari menceritakan bagaimana ia menjadi sosok yang kuat menghadapi rumah tangganya, bagaimana ia bisa menanggapi tudingan kanan kiri ketika menikah dengan suaminya karena perbedaan usia yang cukup jauh, sampai ia yang harus menerima "serangan tak kasat mata" dari orang-orang yang tidak menyukai pernikahan mereka.

Dalam setiap unggahannya ia selalu berusaha menciptakan kesan bahwa dirinya adalah orang yang paling teraniaya. Ini bukan komentar saya pribadi saja, namun dari sejumlah teman-teman yang mulai resah dengan aktivitas media sosialnya.

Entah apa sebenarnya yang tengah diincarnya, yang pasti dia marah ketika ada yang memberikan komentar berupa saran jika ada baiknya hal tersebut tidak dibahas di media sosial.

Ia abai bahkan sampai rela unfollow dan memutuskan pertemanan dengan orang yang dianggapnya ingin mengintervensi kehidupan bersosialmedianya.

Akhirnya sejumlah orang mulai menyadari bahwa rekan kami yang satu ini terindikasi masuk dalam kategori Tone Deaf, sebuah istilah yang kini marak di sejumlah sosial media.

Orang dengan tipikal Tone Deaf tak memedulikan pendapat orang-orang sekitarnya tentang dirinya pribadi dan sejumlah aksinya.

Sampai akhirnya saya dan salah seorang teman membicarakan tentang sosok orang itu. Ternyata, ada yang berusaha memahami kondisi psikologi si kawan kami ini.

Menurutnya, rekan kami itu memang pernah curhat bahwa dirinya tertekan dan mengunggahnya di media sosial itu merupakan salah satu cara untuk melepaskan diri dari tekanan batin yang sudah dirasakannya bertahun-tahun.

Dan, rekan yang memaklumi adalah orang yang memiliki masalah yang sama dengan orang tersebut.

Sehingga pemakluman itu bukan lagi sekadar pantas atau tidak mengumbar masalah pribadi di media sosial namun lebih ke perasaan senasib sepenanggungan.

Sebenarnya, menilai isi konten seseorang di media sosialnya itu tidak ada pakemnya yang jelas. Mayoritas orang hanya berpikir selagi tidak mengandung SARA atau pornografi dan pornoaksi maka dirinya bebas mengunggah apapun yang dirinya mau termasuk konflik keluarga.

Terlepas dari norma pantas atau tidaknya di mata orang lain, selagi dirinya merasa nyaman, maka ia punya hak untuk mengunggah apapun yang ia mau.

Dalam kasus yang berbeda, sejak media sosial makin beragam jenisnya, kita makin sering menyaksikan banyak kasus yang melibatkan dua kubu yang biasanya perorangan melawan sekelompok orang, baik komunitas/organisasi maupun non organisasi tertentu terkait dengan sikap kurang empati atau kurang peduli terhadap apa yang sedang menjadi kekhawatiran banyak orang.

Pelaku Tone Deaf asik dengan opininya sendiri tanpa mempertimbangkan matang-matang apakah hal tersebut bisa menjadi masalah atau tidak di kemudian hari. Bukan mendulang kepuasan, justru berakhir di laporan kepolisian.

Tapi catatan ini bukan hendak mengatur apa yang pantas dan tak pantas diunggah ke media sosial, namun lebih pada bagaimana cara menanggapi teman dengan kepribadian Tone Deaf ini.

Menurut Merriam-Webster, frasa tone deaf dapat merujuk pada seseorang yang menunjukkan kurangnya persepsi terhadap sentimen atau opini masyarakat. (sumber : RRI.com)

Orang dengan tipikal semacam ini terindikasi tidak peduli pada opini publik tentang dirinya. Apa yang dilakukan adalah apa yang menurut buah pemikirannya itu benar dan layak.

Pelaku Tone Deaf tidak mudah dan tidak menerima intervensi dari pihak lain atas pola pikirnya. Mereka menitikberatkan keputusannya pada kepuasan pribadi.

Pernah mendengar kalimat, "lebih enak jadi diri sendiri, nggak usah peduli apa kata orang, hidup kita yang jalani." Orang-orang dengan pola seperti ini tidak selalu Tone Deaf, tapi jika dibiarkan maka bisa jadi dirinya masuk ke dalam kategori tersebut. Karena mereka akan merasa bahwa opini orang lain tentang dirinya hanya menimbulkan stres dan perasaan tidak nyaman.

Kita pastinya merasa gemas dengan orang semodel ini. Namun, kita tidak bisa memaksakan diri untuk mengubah pola pikir mereka dengan apa yang kita anggap benar.

Dari pengalaman saya pribadi, saya pernah coba untuk mengingatkan pada teman yang terindikasi Tone Deaf bahwa lebih baik mengurangi kebiasaan membahas masalah rumah tangga di media sosial, karena tidak banyak orang yang sukses mencuri perhatian orang dengan mengumbar masalah pribadi di media sosial.

Harapannya bisa mendulang perhatian eh malah mendapat cemoohan. Masalah pribadi kita justru menjadi topik gibah terbaru untuk orang-orang yang haus melihat kesengsaraan orang lain.

Sayangnya, alih-alih mendengarkan, justru unggahan rekan saya itu makin tidak karuan. Jangan mengira orang semacam ini bisa disindir, jika bicara secara langsung saja tidak digubris apalagi itu, dia pasti makin tak peduli.

Apalagi sejak saya mengerti dia mulai unfollow media sosial saya. Dari situ jelas terlihat bahwa dirinya merasa terganggu dengan sikap saya.

Langkah kedua, saya mulai mengurangi respons terhadap semua postingan media sosialnya yang membahas tentang masalah rumah tangga. Atau hal-hal yang menggiring opini publik bahwa dirinya adalah orang yang paling teraniaya.

Saya pun mulai mengurangi interaksi dengan media sosialnya karena orang dengan indikasi Tone Deaf akan lebih senang berinteraksi dengan sesamanya, dalam hal ini adalah orang yang mendukung sikapnya yang "agak lain" dibanding dengan kebanyakan orang. 

Mereka lebih senang bergabung dengan sesama orang yang memiliki permasalahan hidup sama lalu kemudian saling adu nasib, siapa yang paling sengsara, dialah pemenangnya.

Jika sudah begitu, perlu diingat, bahwa kita tidak punya tanggung jawab untuk mengubah orang lain menjadi baik.

Hal itu terjadi sesuai masanya. Masing-masing orang harus bertanggung jawab atas diri dan perilakunya. Sehingga kita tak perlu membebani diri untuk berpikir keras demi mengubah seseorang menjadi lebih baik dari sebelumnya. Ingat, menghindari bukan berarti meninggalkan.

Jika suatu saat temanmu yang Tone Deaf itu muncul dan meminta saran, tak ada salahnya untuk mengarahkan dengan cara baik-baik. Agar dirinya tak merasa disudutkan dengan saran yang kita sampaikan.

Namun jika terpaksa untuk tak lagi berhubungan apalagi sikap kita dianggap sebagai gangguan, kita harus tahu di mana pintu keluarnya.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Resah Temanmu Terindikasi Tone Deaf? Coba Lakukan Ini!"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Berbagi Pengalaman Ikut Misa Akbar Paus Fransiskus dari Jauh

Berbagi Pengalaman Ikut Misa Akbar Paus Fransiskus dari Jauh

Kata Netizen
Faisal Basri, Guru yang Baik dan Penuh Dedikasi

Faisal Basri, Guru yang Baik dan Penuh Dedikasi

Kata Netizen
Nikmati Peranmu sebagai Ibu, Tidak Perlu Takut!

Nikmati Peranmu sebagai Ibu, Tidak Perlu Takut!

Kata Netizen
Apa Untungnya Memiliki Portofolio Karier?

Apa Untungnya Memiliki Portofolio Karier?

Kata Netizen
Ekonomis dan Efisien, Ini Cara Memilih Mesin Cuci

Ekonomis dan Efisien, Ini Cara Memilih Mesin Cuci

Kata Netizen
Nostalgia Serunya Menyewa Film di Tempat Rental

Nostalgia Serunya Menyewa Film di Tempat Rental

Kata Netizen
Jejak Digital adalah Bumerang Kita Main Medsos

Jejak Digital adalah Bumerang Kita Main Medsos

Kata Netizen
Gaya Hidup 90an, Apakah Masih Relevan?

Gaya Hidup 90an, Apakah Masih Relevan?

Kata Netizen
Beragam Manfaat dari Bawang Putih yang Perlu Diketahui

Beragam Manfaat dari Bawang Putih yang Perlu Diketahui

Kata Netizen
Cara Mudah Menanam Tomat di Rumah

Cara Mudah Menanam Tomat di Rumah

Kata Netizen
Ini Alasan Psikologis Orang Bisa Suka Koleksi Buku

Ini Alasan Psikologis Orang Bisa Suka Koleksi Buku

Kata Netizen
Reksa Dana, Investasi Praktis dan Menguntungkan

Reksa Dana, Investasi Praktis dan Menguntungkan

Kata Netizen
Ekspektasi yang Membebani, Bisakah Kita Melepaskannya?

Ekspektasi yang Membebani, Bisakah Kita Melepaskannya?

Kata Netizen
Mengenal 'Selective Mutism: dan Permasalahan Anak di Sekolah

Mengenal "Selective Mutism: dan Permasalahan Anak di Sekolah

Kata Netizen
Atur Strategi Pelaku Industri Kopi Ketika Harga Melonjak Tinggi

Atur Strategi Pelaku Industri Kopi Ketika Harga Melonjak Tinggi

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau