Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Airani Listia
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Airani Listia adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Atur Strategi Pelaku Industri Kopi Ketika Harga Melonjak Tinggi

Kompas.com - 31/08/2024, 15:25 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Kopi menjadi satu kebutuhan primer yang wajib ada di meja pagi hari setelah sarapan atau saat bersantai. Kalau ditanya minum apa kamu pagi ini? Pasti jawabannya, segelas kopi panas atau teh hangat.

Untuk sebagian besar orang, rasanya tidak mungkin sehari tanpa minum kopi, termasuk suami saya sendiri. Minimal ia minum kopi pahit 2-3x sehari.

Namun, sebuah kejanggalan saya rasakan sejak awal tahun 2024. Harga kopi kemasan 160 gram yang biasa dibeli hanya 14 ribu rupiah, hampir setiap bulan naik.

Hingga kini mencapai 20 ribu rupiah per kemasan ukuran 160 gram apabila beli di warung, sedangkan di minimarket sudah mencapai 24.500 rupiah per kemasan.

Ini peningkatan yang cukup drastis. Terlebih sejak tiga bulan terakhir, kenaikan harga kopi yang biasa saya beli dengan ukuran kemasan 160 gram begitu meningkat tajam. Dari 16 ribu rupiah menjadi 20 ribu rupiah pembelian terakhir hari ini di warung dekat rumah.

Awalnya saya pikir, mungkin akan ada variasi baru, atau kemasan baru, sehingga harga kemasan lama menjadi naik. Oh ternyata, masalah ini tidak hanya terjadi pada perusahaan yang memproduksi kopi kemasan langganan saya.

Usut punya usut, masalah kenaikan harga kopi sudah terjadi sejak tahun 2023. Kenaikan harga kopi utamanya sudah dirasakan oleh seluruh pelaku usaha kopi di Indonesia sejak 2023 sampai sekarang.

Apa alasan harga kopi melonjak tinggi? Dan bagaimana strategi pelaku industri kopi menyiasati harga kopi yang semakin mahal?

Alasan Harga Kopi Melonjak Tinggi

Sejak bulan April, dari berita Kompas.id (29/04/2024), diketahui menjelang panen raya, harga kopi robusta di Lampung naik mencapai 55 ribu - 60 ribu rupiah per kilogram. Padahal, panen tahun lalu, harga kopi robusta di Lampung hanya 35 ribu rupiah per kilogram.

Saya menjadi paham, alasan harga kopi yang biasa saya beli makin mahal. Sepengetahuan saya, kopi kemasan yang biasa dikonsumsi suami jenisnya memang robusta.

Pada berita Kompas.com (13/06/2024), dijelaskan bahwa harga kopi asal Sumatera Selatan dengan kualitas premium atau petik merah saat ini mencapai 130 ribu rupiah per kilogram.

Sedangkan, untuk kopi kualitas asalan sudah mencapai harga 72 ribu rupiah per kilogram. Ternyata, kenaikan harga kopi ini sudah berlangsung hampir satu tahun belakangan karena tingginya permintaan kopi dari konsumen.

Ada alasan kuat dibalik melambungnya harga kopi di Indonesia. Menurut VOA Indonesia (21/05/2024), dari hasil Laporan Kementerian Pertanian AS (USDA), hasil panen buruk dialami Indonesia pada panen kopi periode 2023-2024. Ini karena pola cuaca El Nino yang berdampak negatif pada perkebunan kopi.

Apalagi, Indonesia merupakan salah satu dari lima produsen kopi terbesar di dunia. Terutamanya, pemroduksi kopi robusta yang biasa digunakan pelaku industri kopi untuk membuat kopi instan.

El Nino, pengaruhnya sangat nyata. Kekeringan yang terjadi di Vietnam karena fenomena El Nino pada musim lalu, membuat harga kopi robusta mencapai level tertinggi sepanjang masa di pasar global.

Tidak hanya Indonesia dan Vietnam, banyak negara penghasil kopi mengalami gagal panen, termasuk Brazil disebabkan El Nino.

Alasan ini yang membuat harga kopi dunia dan Indonesia semakin mahal. Dampaknya memang tidak langsung ke konsumen.

Saya tahu, pemerintah dan pelaku industri kopi berusaha meminimalisir kenaikan harga dirasakan langsung oleh konsumen secara tiba-tiba. Sayangnya, perlahan tapi pasti, kenaikan harga kopi tetap sampai pada konsumen.

Strategi Pelaku Industri Kopi

Dalam wawancaranya dengan Kompas.com (13/06/2024), seorang owner Kopi Diego bernama Yudha, menjelaskan bahwa ia menyiasati dengan mencari pemasok lain dengan harga yang masih terbilang wajar. Mengambil kopi dari luar Sumatera Selatan. Walau sedikit, masih tetap ada keuntungan yang diterima untuk penjualan satu gelas kopi di kedai Kopi Diego.

Yudha tidak menaikkan harga segelas kopi di kedai miliknya. Ia tetap mempertahankan harga yang sama, agar kopi miliknya tetap bisa dinikmati mahasiswa dan para pekerja. Kemudian, menutupi biaya produksi dengan penjualan makanan di kedai Kopi Diego.

CMO Kapal Api Group, Christeven Mergonoto mengatakan, dalam satu tahun terakhir, Kapal Api Group telah menaikkan harga cukup banyak.

Kini mereka melakukan efisiensi biaya pabrik, dan lebih menyeleksi strategi marketing yang tepat. Jadi, tak terlalu memberatkan konsumen dengan harga yang semakin tinggi. Mereka juga selalu menjaga kualitas kopi, tetap menggunakan 100% biji kopi pilihan.

Baik pelaku usaha kopi seperti UMKM, atau pengusaha kopi, sama-sama berpikir tajam mencari strategi yang tepat agar kopi tetap bisa dinikmati semua kalangan masyarakat Indonesia.

Lalu, bagaimana jika harga kopi makin mahal? Susah dong untuk kita menikmati secangkir kopi.

Kopi memang sudah jadi kebutuhan wajib, tetapi tidak ada salahnya kita mencoba minuman tradisional Indonesia sebagai selingan pengganti kopi, bukan? Secangkir wedang jahe, susu jahe, wedang ronde, teh hangat, bandrek, bir pletok, dan lain sebagainya, tidak kalah nikmat rasanya.

Mengurangi intensitas minum kopi tidak merugikan kok. Apalagi, kamu bisa mencoba mencicipi banyak minuman enak khas Indonesia. Dijamin nagih dan buatmu makin jatuh cinta dengan minuman khas Indonesia!

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Harga Melonjak Tinggi, Pelaku Industri Kopi Berpikir Tajam Atur Strategi"

Terangi negeri dengan literasi, satu buku bisa membuka ribuan mimpi. Lewat ekspedisi Kata ke Nyata, Kompas.com ingin membawa ribuan buku ke pelosok Indonesia. Bantu anak-anak membaca lebih banyak, bermimpi lebih tinggi. Ayo donasi via Kitabisa!


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
7 Cara Anak Bekasi atasi 'Commuting Stress'
7 Cara Anak Bekasi atasi "Commuting Stress"
Kata Netizen
Tentang Royalti Lagu 'Indonesia Raya' dan Rilis Versi Lokananta
Tentang Royalti Lagu "Indonesia Raya" dan Rilis Versi Lokananta
Kata Netizen
Mencicip Segala 'Rasa Singkawang' di Krendang, Jakarta Barat
Mencicip Segala "Rasa Singkawang" di Krendang, Jakarta Barat
Kata Netizen
Siapa Masih Jadikan Hujan sebagai Alasan Bolos?
Siapa Masih Jadikan Hujan sebagai Alasan Bolos?
Kata Netizen
Apa yang Lelaki Renungkan Sebelum Memutuskan Menikah?
Apa yang Lelaki Renungkan Sebelum Memutuskan Menikah?
Kata Netizen
Kita Bekerja untuk Membeli Waktu di Jakarta
Kita Bekerja untuk Membeli Waktu di Jakarta
Kata Netizen
Merasakan Pertumbuhan Ekonomi dari Kedai Kopi
Merasakan Pertumbuhan Ekonomi dari Kedai Kopi
Kata Netizen
Kenangan dari Pasar Comboran Tak Pernah Usang
Kenangan dari Pasar Comboran Tak Pernah Usang
Kata Netizen
Kasus eFishery dan Pembelajaran untuk Investor Saham
Kasus eFishery dan Pembelajaran untuk Investor Saham
Kata Netizen
Royalti Musik, Musisi Lokal, dan Dilema Pemilik Kafe
Royalti Musik, Musisi Lokal, dan Dilema Pemilik Kafe
Kata Netizen
Sudahi Buang Sampah di Laci Meja Sekolah, Ya!
Sudahi Buang Sampah di Laci Meja Sekolah, Ya!
Kata Netizen
Terpaksa Jadi Rojali karena Tak Ada Ruang Berkumpul
Terpaksa Jadi Rojali karena Tak Ada Ruang Berkumpul
Kata Netizen
Bisakah Kita PDKT dengan Bermodalkan Nekat?
Bisakah Kita PDKT dengan Bermodalkan Nekat?
Kata Netizen
Ketika Semua Gaji Diserahkan ke Istri, Suami Gak Pegang Uang?
Ketika Semua Gaji Diserahkan ke Istri, Suami Gak Pegang Uang?
Kata Netizen
Sisi Lain Rojali dan Rohana yang Perlu Orang Ketahui
Sisi Lain Rojali dan Rohana yang Perlu Orang Ketahui
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau