Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pernikahan merupakan satu tahapan perjalanan kehidupan bagi sepasang manusia yang telah sepakat membangun rumah tangga baru. Melalui pernikahan pula akan terjalin hubungan harmonis di antara dua jaringan keluarga besar.
Menjalani sebuah acara pernikahan meriah dan berkesan tentunya pula menjadi impian semua pasangan yang ingin membentuk rumah tangga baru.
Pada masa lalu saja, para orang tua kita memiliki cerita indah pernikahan mereka. Meskipun rata-rata acara pernikahannya sederhana saja. Usai pemberkatan nikah atau ijab kabul, langsung dilanjutkan dengan resepsi pernikahan sederhana.
Misalnya, resepsi pernikahan Kristen yang sederhana banyak dilakukan di gedung gereja atau halaman rumah mempelai wanita.
Hanya saja, konsep resepsi pernikahan 10 tahun yang lalu sudah banyak berbeda dengan konsep serupa masa kini. Dulunya, resepsi pernikahan masih tergolong sederhana dan terjangkau dari sisi biaya.
Dibandingkan kondisi saat ini, acara pernikahan rata-rata mengikuti konsep selebriti, anak pejabat dan para pesohor publik.
Pesta meriah pernikahan dengan konsep modern penuh kilau lampu&lampu mewah di hotel berbintang boleh dikata sangat marak di Indonesia.
Tak ada salahnya memang bagi mereka yang memang berasal dari keluarga tajir atau pasangan tersebut memang memiliki kemampuan finansial yang berlebih.
Jadi, itu sah-sah saja menyelenggarakan pesta pernikahan mewah bernilai miliaran rupiah, menghadirkan MC premium sekelas Raffi Ahmad dan Nagita Slavina hingga pengisi hiburan selevel penyanyi Bunga Citra Lestari.
Di dunia dengan sistem informasi yang berlangsung serba cepat saat ini, konsep pernikahan di kota dengan di daerah sudah hampir sama. Bahkan pernikahan secara adat di daerah pun bisa menghabiskan dana miliaran rupiah.
Lalu, bagaimana dengan para generasi milenial yang menjalani pesta pernikahan dengan konsep mewah dan meriah tapi sumber dananya dari kredit? Apakah senyum manis dan tawa bahagia di pelaminan selama sehari bisa menutupi tagihan pinjaman kredit setiap bulan.
Makin miris ketika biaya pernikahan meminjam kepada teman dekat, kerabat dan keluarga. Minjamnya enteng, tetapi mengembalikannya tak jelas. Mengapa?
Pinjaman kepada teman dan keluarga tak bisa diprediksi kapan mereka memintanya kembali. Kadang dalam waktu hanya seminggu hingga sebulan, mereka memintanya untuk dilunasi.
Dua kondisi di atas baru saja dialami oleh dua rekan saya yang beberapa waktu lalu menyelenggarakan pesta pernikahan mereka.
Sumber dana pernikahan rekan pertama adalah pinjaman kredit di bank menggunakan SK PPPK. Dengan nilai pinjaman 100 juta dalam waktu 20 tahun, pembayarannya bisa dicicil dan terukur. Tetapi, ya sudah menjadi utang.
Kondisi kedua, meminjam ke sesama teman. Untuk kondisi ini, rentan memecah hubungan persahabatan. Meminjamkan uang ternyata meminta pengembalian uang dalam tempo tak lama setelah resepsi. Ya, mereka juga butuh dana untuk membiayai kebutuhan mereka.
Hmmm... Sebuah acara pernikahan, logisnya ada pendapatan bagi kedua mempelai dan keluarga lewat bingkisan pernikahan dari para undangan berupa amplop atau transferan uang (wedding gift). Ini lumrah ya.
Maksud dari ratusan hingga ribuan undangan pernikahan uang dibagi tentunya berharpaereka yang datang tak hanya membawa doa restu tetapi ada nilai tambahnya.
Jika jumlah undangan yang hadir tak sesuai dengan alokasi biaya yang telah dikeluarkan untuk sewa gedung, belanja menu makan dan segala tetek-bengek pernikahan, maka ujung-ujungnya akan timbul utang pernikahan.
Paling utama adalah sah dan resminya pernikahan menurut adat, agama dan negara. Mau mewah atau sederhana, pada hakekatnya, pernikahan resmi tak lepas dari tiga aspek itu.
Sehingga, perlu ada pertimbangan logis bagi calon mempelai dan keluarga kedua belah pihak terkait konsep acara pernikahannya.
Sangat penting untuk berpedoman pada kekuatan sumber dana. Paling baik jika dana pernikahan memang ada. Tak perlu memaksakan meminjam ke bank atau kerabat.
Jika memang dirasakan bahwa dana yang ada terbatas, mengapa tidak pernikahannya sederhana saja.
Misalnya, bagi pasangan Kristen, cukup pemberkatan nikah dan pencatatan sipil di gereja, setelah itu dilanjutkan dengan resepsi sederhana dengan warga jemaat. Pelaminannya simpel saja dalam gereja.
Kalaupun pasangan muda ingin mencontoh model pernikahan ala K-Drama dan film barat yang minimalis pernikahan di gereja atau pinggir pantai dengan undangan kerabat terdekat saja beberapa puluh orang, ya bisa dicoba.
Intinya kan, pernikahan resmi dan resepsinya disesuaikan dengan kemampuan finansial.
Bijak berpikir, sepakat dan memiliki chemistry yang sama antara kedua insan yang akan duduk di pelaminan.
Sebaiknya pula, tak perlu banyak mendengarkan masukan dari luar. Karena, bagaimanapun juga orang banyak menginginkan pesta pernikahan meriah.
Prestise sesaat foto dan video mewah di media sosial tak akan mampu menutupi beban utang kala memaksakan pernikahan mewah. Baiknya, sederhana dan sekali lagi, sesuaikan konsep acara pernikahan dengan kondisi finansial.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Strategi Menjalani Pernikahan Bebas Utang"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.