Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Nuning Sapta Rahayu
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Nuning Sapta Rahayu adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Kenangan Naik Becak yang Kini Jarang Ditemui di Kabupaten Tasikmalaya

Kompas.com, 30 Januari 2025, 23:35 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Pernahkah Anda membayangkan sebuah dunia tanpa deru roda becak yang menyusuri jalan-jalan kecil?

Jika di Kabupaten Tasikmalaya, hal itu bukan lagi bayangan, melainkan kenyataan yang pilu. Becak, simbol kehangatan tradisional transportasi publik, kini menghilang bagai ditelan waktu.

Becak dulunya adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Suara gemuruh pelan roda becak, canda tawa penumpang, hingga senyum ramah para abang becak adalah pemandangan sehari-hari. 

Namun sekarang, anak-anak kecil bahkan banyak yang tidak tahu apa itu becak, apalagi memiliki pengalaman menaikinya. Kedua anak saya tidak pernah melihat becak. Dia hanya mendengar cerita dari saya tentang serunya naik becak waktu kecil dulu.

Krisis ini tidak datang tiba-tiba. Kehadiran ojek online, sepeda motor, dan angkutan kota telah menggantikan peran becak. 

Abang becak yang dulunya menjadi pahlawan di pagi hari, mengantar anak-anak ke sekolah atau membantu ibu-ibu berbelanja ke pasar, kini kehilangan tempatnya di jalanan.

Bagi banyak orang, becak bukan hanya alat transportasi. Becak adalah kenangan. Becak adalah perjalanan pertama ke sekolah, tempat bercerita sambil menikmati angin, atau alat untuk menjelajahi kampung dengan cara yang sederhana.

Salah satu yang tak terlupakan adalah momen-momen lucu dan menegangkan saat naik becak. Saya ingat, saat masih menjadi anak TK dengan penuh semangat saya berlari dan naik becak duluan saat ibu saya dan mang becak masih menyepakati ongkos perjalanan. Alhasil becak jalan sendiri dan dikejar oleh mang becak dan juga ibu saya.

Tak kalah seru saat SMP saya pernah jatuh dari becak bersama almarhum Nenek gara-gara membawa banyak barang dan agak ngebut di turunan. Rasanya cukup fantastis bagaikan naik wahana permainan ekstrim.

Beca terbalik, kami jatuh ke jalan begitu pun mang becaknya. Alhamdulillah, saat itu kami tidak apa-apa walaupun sedikit menanggung malu.

Bila teringat semua itu pasti saya akan sedikit tertawa. Kenangan lucu tersebut mengingatkan moment seru bersama almarhumah nenek dulu. Mang becak sampai minta maaf berkali-kali dan menggratiskan biaya ongkosnya. Tapi kami tetap membayar. Ya, masa kami tega, namanya juga kan musibah.

Kenangan seperti ini, meskipun sederhana, adalah bagian dari kehangatan dan kedekatan yang ditawarkan becak. Anak-anak yang tumbuh tanpa pengalaman ini kehilangan cerita yang bisa mereka bagikan di masa depan.

Namun, perubahan zaman tidak memberi ruang untuk nostalgia. Abang becak yang dulu menggantungkan hidup pada roda tiga itu kini beralih profesi. Banyak yang menjadi buruh pabrik, pedagang kecil, atau bahkan menganggur. 

"Saya dulu narik becak, sekarang jadi kuli bangunan. Tapi beda rasanya. Becak itu jiwa saya," kata mang Aman, mantan pengayuh becak yang kini bekerja serabutan.

Hilangnya becak juga mencerminkan krisis transportasi publik yang kian nyata di Kabupaten Tasikmalaya. Anak-anak kecil kini kehilangan pengalaman unik bepergian dengan becak, sementara masyarakat desa yang tidak memiliki akses kendaraan pribadi semakin terpinggirkan. 

Tidak ada alternatif transportasi tradisional yang terjangkau, yang menggambarkan kesenjangan antara modernisasi dan kebutuhan masyarakat.

Rasanya rindu becak. Kadang saya berharap bisa melihat becak lagi di jalanan. Anak-anak perlu tahu bahwa ada masa di mana perjalanan tidak sekadar cepat, tetapi juga penuh cerita.

Apakah ini akhir bagi becak di kabupaten Tasikmalaya? Di beberapa titik di Kota mungkin masih ada, dan kebanyakan beralih menjadi bentor, tidak pagi di kayuh seperti dulu.

Sedangkan di beberapa daerah lain, becak tetap bertahan sebagai daya tarik wisata. Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya dapat mempertimbangkan untuk melestarikan becak sebagai warisan budaya lokal. Program revitalisasi atau pengintegrasian becak ke sektor pariwisata dapat menjadi solusi untuk menghidupkan kembali alat transportasi ini.

Seperti yang dikatakan oleh seorang sejarawan lokal, "Becak adalah saksi sejarah. Hilangnya becak bukan sekadar hilangnya alat transportasi, tetapi juga hilangnya identitas budaya."

Ketika roda becak berhenti berputar, cerita-cerita tentangnya juga perlahan memudar. Mungkin sudah waktunya bagi kita untuk berpikir ulang tentang pentingnya melestarikan transportasi tradisional ini. 

Agar anak-anak tidak hanya mengenal becak dari cerita, tetapi juga bisa merasakan kehangatan perjalanan yang sederhana namun penuh makna.

Bagaimana dengan Anda? Masih ingat kapan terakhir kali Anda naik becak?

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hilangnya Becak dan Kenangan, Krisis Transportasi Publik di Kabupaten Tasikmalaya"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau