Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Rabu Abu yang jatuh pada 5 Maret merupakan tanda dimulainya masa prapaskah.
Ada yang menarik dari kotbah pastor yang saya dengar pada misa hari Minggu kemarin. Sebagai pengantar menuju hari Rabu Abu.
Pastor mengingatkan hari puasa wajib yang akan dimulai pada hari Rabu Abu, yang jatuh pada hari ini.
Hari puasa wajib lainnya adalah pada hari Jum'at Agung, yaitu hari dimana umat Katolik memperingati Yesus yang wafat di kayu salib.
Pastor menyampaikan ide untuk membuat kesepakatan dalam keluarga mengenai puasa dan pantang bersama, berdasarkan kesepakatan bersama.
Ide ini cukup menarik, setidaknya buat saya, yang biasanya melaksanakan pantang secara pribadi saja.
Sementara hari puasa, di rumah memang diusahakan tidak memasak makanan dari bahan daging-dagingan, dan makan kenyang satu kali saja.
Menentukan pantang bersama dalam keluarga bisa jadi sesuatu yang dapat membuat tambah kompak, bisa juga menjadi sesuatu yang menantang.
Seberapa kuat seluruh anggota keluarga dapat menahan diri untuk berkomitmen pada pantangan yang sudah disepakati. Dan jika ada yang kelepasan melanggar, apakah yang lain sanggup bertahan dan mengingatkan, atau malah ikut terbawa arus.
Dalam agama Katolik, puasa yang saya mengerti adalah tentang mati raga/penyangkalan diri. Dalam arti meneguhkan hati untuk menolak segala kesenangan diri.
Walau tidak dalam masa puasa pun, sebenarnya mati raga/menyangkal diri tetap harus diusahakan.
Beberapa contoh praktiknya dalam kehidupan sehari-hari (versi saya) adalah mengalokasikan waktu untuk mengunjungi dan berbincang-bincang dengan orang-orang tua di panti wredha, bermain-main bersama anak-anak yatim piatu di panti asuhan, menjadi relawan, dll.
Daripada menghabiskan waktu hanya untuk kesenangan sendiri saja dengan cara (misalkan) seharian browsing shopping mall.
Berpuasa dan berpantang itu sendiri adalah salah satu bentuk mati raga. Sebagai manusia, Anda boleh makan semaunya, tetapi dengan mau berpuasa, artinya mau berusaha menahan diri dari keinginan manusiawi (daging).
Hal ini merupakan sebuah latihan rohani untuk menahan diri terhadap keinginan daging. Keinginan daging, maksudnya keinginan manusia berdasarkan kebabasan untuk memilih.