Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sering bertemu tukang parkir yang sudah siap menanti bayaran pengunjung yang memarkir kendaraan di depan swalayan, fotokopian, atau ATM center? Biaya beragam, tetapi biasanya memang sekadar selembar uang 2 ribu rupiah.
***
Sore itu, saya bersepeda ria bersama adik kesalahan satu pantai di dalam kota. Sampai ke lokasi, kami berhenti di sebuah tempat yang di dalamnya ada banyak pedagang makanan.
Ternyata, lokasi tersebut telah berubah menjadi tempat nongkrong. Awalnya, hanya ruang kosong berpaving. Mungkin, pengelola setempat membiarkan kosong untuk menghindari bahaya ombak besar.
Saya dan adik ke lokasi untuk memotret laut dan membeli beberapa jajanan lantas berniat menuju spot lain. Ketika hendak mengambil sepeda yang kami parkir, tiba-tiba seorang bapak datang.
"Mbak, bayar parkir dulu, satu sepeda Rp 2000. Karena ini dua sepeda, jadi Rp 4000"
Ternyata, ia adalah tukang parkir di lokasi tersebut. Melihatnya, tentu saja cukup kaget. Berkali-kali datang ke lokasi, saya tidak pernah dimintai oleh tukang parkir. Apalagi harganya untuk parkir sepeda sama seperti parkir motor.
Dengan perasaan cukup kesal, saya bilang pada si bapak tukang parkir itu soal harga yang 'tidak ngotak' untuk sepeda. Kemudian, si bapak memberi sejuta alasan dan mengeluarkan kalimat pamungkas: "Rp 2000 gak akan bikin miskin, Mbak".
Mendengar kalimat terucap, tingkat kekesalan saya naik drastis. Dengan muka cemberut, saya dan adik segera pergi sembari menyerahkan uang Rp 2000.
Melihat semakin menjamurnya tukang parkir liar, saya kemudian mulai berpikir soal pemakaian kendaraan. Apakah sudah saatnya kita menormalisasi jalan kaki?
Memang, berjalan kaki bukan solusi efektif untuk mengurangi jumlah tukang parkir liar, sebab, mereka ada karena aturan yang kurang tegas serta pembiaran dari masyarakat.
Meski begitu, sebagai manusia yang suka jalan kaki, saya mengakui bahwa cara tersebut cukup efektif untuk mengurangi biaya tukang parkir untuk lokasi-lokasi terdekat.
Kan eman-eman tuh kalau Rp 2000 melayang, padahal cuma parkir motor di warung makan dekat rumah. Nah, daripada mendapati kantong semakin mengering, mending jalan kaki aja kan kalau jaraknya gak terlalu jauh.
"Tapi, tapi Ra, jalan kaki di Indonesia tuh gak enak lho? Banyak pedagang kaki lima yang berjualan di trotoar?"
Hmmm, kalau soal itu, thats right, trotoar ful pedagang adalah masalah lain yang harus diselesaikan di Indonesia. Selain tukang parkir liar, trotoar tak ramah pejalan kaki memang bikin kesal juga.
Eksistensi pejalan kaki di Indonesia masih disepelekan. Gak heran, orang sering semena-mena berjualan di atas trotoar tanpa memberikan hak pada pejalan kaki.
Terlebih, di Indonesia pejalan kaki masih dianggap aneh. Dianggap tak bisa membeli kendaraan alias patut dikasihani.
Jujur, saya pernah jalan kaki menuju warung. Ketika berjalan di trotoar, seorang ibu-ibu menawari saya bonceng motor. Tentu saya menolak dengan halus.
Alasannya, saya memang ingin berolahraga. Lantas si ibu mengutarakan kalau kasihan lihat saya jalan kaki sendirian. Si ibu memang baik. Hanya tidak pas momennya.
***
Baiklah, itu dia uneg-uneg singkat soal tukang parkir dan pilihan untuk berjalan kaki. Mungkin saja, seandainya di masa depan lebih banyak orang berjalan kaki ketimbang naik kendaraan bermotor, trotoar akan dibuat nyaman dan aman.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tukang Parkir Kian Meresahkan, Saatnya Memilih Berjalan Kaki?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.