Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Siska Fajarrany
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Siska Fajarrany adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kompas.com - 17/04/2025, 14:55 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ada yang masih ingat dialog yang dibawakan Ringgo Agus dalam film 1 Kakak 7 Ponakan tentang worklife balance?

"Nggak ada yang namanya kerja cari nyaman itu, gak ada. Atau jangan-jangan, kamu mau bilang itu apa, mau ikut-ikutan work life balance itu. Ah, itu sih cuma omong kosong orang males aja itu!" 

Gaya bicara yang tinggi dan tentunya tak ingin kalah saing dari yang lain. Tak jarang memberikan nasihat kehidupan, yang katanya sih dari pengalaman pribadi.

Kekesalan berhadapan dengan karakter seperti Mas Eka, terkadang malah menyadarkan sebagian orang yang selama ini terlanjur nyaman dengan keadaan. 

Ucapan yang realistis dan tanpa disaring terlebih dahulu, membuat yang mendengarnya tertampar karena merasa tersindir dan sadar diri. Dalam momentum tertentu, memang terkadang butuh pengingat dari orang-orang seperti Mas Eka ini.

Sejujurnya, setelah pulang menonton film 1 Kakak 7 Ponakan, kata-kata dari Mas Eka yang terus terngiang dalam ingatan. Seperti sepenggal dialognya di atas. Membuat saya termenung tentang work life balance.

Sebagai akademisi yang rumpun ilmunya turut membahas keseimbangan kehidupan kerja, tentu saya tertarik untuk menganalisis lebih jauh.

Kebenaran ucapan Mas Eka tentang pandangan seseorang yang menuntut work life balance dan juga kemungkinan yang pasti tentang terwujudnya keadaan work life balance.

Bekerja sudah menjadi kebutuhan dasar manusia. Bukan hanya dari segi materi untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, tetapi bekerja juga menjadi aktivitas positif yang turut mengembangkan potensi diri.

Ada pekerja yang memang tujuannya adalah untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Ada pula yang mementingkan jenis pekerjaan yang dicintai karena sesuai dengan minat dan bakat sehingga menomor duakan penghasilan yang didapatkan.

Apapun latar belakangnya, jelas bekerja menjadi kebutuhan dasar manusia.

Hidup dalam waktu 24 jam sehari dan 7 hari dalam seminggu tidak harus selalu berkutat dengan pekerjaan.

Manusia juga punya kehidupannya masing-masing dengan segala urusan dan kepentingan yang berbeda-beda.

Seperti mengurus keluarga, berinteraksi dengan komunitas, bermain dengan teman, istirahat, dan juga waktu untuk dirinya sendiri. Seambisi apapun seseorang dalam pekerjaan, tetap saja tubuh membutuhkan waktu untuk istirahat.

Gambaran tersebut yang membuat seorang pekerja membutuhkan work life balance. Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupannya. Konsep ini membagi waktu antara pekerjaan dengan aspek kehidupan lainnya.

Dengan menjaga keseimbangan kehidupan kerja, seseorang akan hidup lebih berkualitas karena tidak terbebani dengan tingkat stres yang bisa berdampak dalam menjalani kegiatan sehari-hari.

Sederhananya saja, ketika seorang Ibu memutuskan untuk bekerja karena kondisi ekonomi keluarganya terpenuhi, maka Ibu akan berharap dapat membagi waktu untuk mengurus keluarganya. Mulai dari membereskan rumah, melayani suaminya, dan tentu mengasuh anak-anaknya.

Dengan menjaga keseimbangan kehidupan kerja, Ibu akan bekerja dengan tenang dan tugas di rumah tangganya pun terlaksana dengan baik. Jika sulit untuk menyeimbangkannya, timbul rasa cemas ketika bekerja karena khawatir dengan pekerjaan di rumah yang ditinggalkan.

Contoh lainnya seorang pekerja yang tidak mendapatkan hari libur. Cenderung sulit untuk bisa mengurusi aspek kehidupan lainnya di luar pekerjaan. Seluruh waktunya dipergunakan untuk bekerja. Jangankan untuk menyelesaikan masalah dalam hidupnya, membalas pesan di WhatsApp saja ia tidak memiliki waktu.

Seseorang yang gagal menyeimbangkan kehidupannya, akan mendapatkan banyak gangguan dalam menjalani aktivitas sehari-hari.

Tidak ada waktu untuk diri sendiri membuat seseorang lupa untuk menjaga dirinya sendiri. Tidak menerapkan pola hidup yang sehat dan cenderung cuek dengan kesehatan diri. Tak jarang ada juga yang sampai merasa tidak sehat secara mental. Merasa gelisah dan mudah marah. 

Usia produktif yang kini ditempati generasi Z lebih peduli terhadap work life balance. Bahkan generasi Z merasa bahwa work life balance adalah sebuah kebutuhan.

Bukan dipandang sebagai bonus dalam kehidupan. Justru kondisi yang harus diciptakan dan dicapai karena menjadi kebutuhan yang wajib terpenuhi.

Pernyataan tersebut selaras dengan survei Jakpat pada Februari 2024 yang dikutip dari kompas.id. Dengan jumlah responden 1.262 yang berusia 18 sampai 20 tahun menyatakan bahwa work life balance adalah kebutuhan.

Didukung pula dengan laporan survei Linkedin an Cencuswide bahwa 85% dari 1.004 responden pekerja di Indonesia mengaku mencari pekerjaan baru di tahun 2024. Empat puluh dua persen beralasan karena untuk mencapai work life balance. 

Sebenarnya, dalam konsep Manajemen Hubungan Industrial, konsep work life balance akan terwujud jika seluruh aktor yang berperan dalam lingkaran produksi turut mendukung dan menciptakan work life balance. 

Seperti peran pemerintah yang membuat peraturan untuk jam kerja, pengupahan, hari libur, cuti, dan lain sebagainya. Tujuannya jelas mensejahterakan masyarakat.

Pemilik atau pemberi kerja harus mematuhi peraturan yang ada. Dengan begitu, para pekerja dapat dengan mudah menyeimbangkan pekerjaan dengan kehidupannya yang lain.

Bukan malah menambah jam kerja dengan upah yang tak sebanding. Ditambah lagi dengan beban kerja yang tinggi dengan dalih tak ingin menambah pegawai agar efisiensi anggaran.

Banyaknya hari libur tak selalu menjadi dasar terbentuknya work life balance jika tidak ada keselarasan antara beban kerja dengan kapasitas pekerja. 

Alhasil, pekerja akan tetap bekerja meski saat hari libur. Bedanya, mengalihkan pekerjaan kantor dengan mengerjakannya di rumah atau bahkan ketika berlibur dengan keluarga.

Realitas ini yang membuat konsep work life balance begitu sulit untuk menjadi nyata. Bahkan terkesan hanya ilusi saja. Karena banyak sekali pekerjaan yang di PR-kan sehingga mengganggu waktu yang seharusnya diperuntukkan bagi kepentingan kehidupan yang lainnya.

Agar tidak menjadi ilusi semata, work life balance harus didukung dengan budaya kerja. Budaya kerja yang diciptakan oleh pemberi kerja dan si pekerjanya sendiri.

Budaya kerja yang manusiawi dan menjunjung tinggi kenyamanan para pekerjanya. Begitu juga dari pihak pekerja yang mau memberikan batas yang jelas antara pekerjaan dengan urusan yang lain.

Dengan begitu, waktu yang tersedia tidak tercampur antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain.

Penting untuk bisa membagi waktu dan membuat skala prioritas. Mana yang harus didahulukan, dan mana yang bisa ditunda terlebih dahulu.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Work Life Balance, Antara Kenyataan dan Ilusi"

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau