Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Kira-kira apa, ya, perbedaan antara proses penerimaan karyawan ketika zaman dulu maupun sekarang?
Pernah dengar cerita orang tuamu soal melamar kerja zaman dulu? Dulu, melamar kerja itu sederhana banget.
Kamu tinggal ketik atau tulis CV, masukkan ke amplop, terus antar langsung ke kantor yang mau kamu lamar.
Kadang malah nggak perlu CV. Cukup bilang, "Pak, saya mau kerja."
Terus HRD-nya langsung bilang, "Oke, kapan bisa mulai?" Simpel kan? Sekarang mah jangan harap, kecuali lewat orang dalam.
Ceritanya begini. Bayangin kamu baru lulus SMA atau kuliah, jalan-jalan ke kantor atau pabrik, dan tanya apakah mereka butuh tenaga kerja. Kalau iya, mereka kasih kamu kertas formulir (kalau nggak lupa), dan kamu isi di tempat.
Kadang mereka cuma tanya-tanya basa-basi kayak, "Punya kendaraan sendiri?" atau "Bisa shift malam?" Udah, selesai.
Waktu itu tidak ada istilah "interview dengan user atau manager" atau "psikotest 100 soal". Bahkan kalau HR-nya lagi baik, kamu langsung ditempatkan di hari yang sama.
Saking gampangnya, kadang HR malah lupa tanya nama lengkap kamu dulu. Jadi ya, nggak heran kalau banyak cerita orang tua yang bikin kita iri setengah mati.
Melamar kerja zaman sekarang kayak ikut audisi pencarian bakat, tetapi tanpa jaminan bakal dapat panggung.
Pertama, kamu harus punya CV yang desainnya ala-ala Canva premium. Kalau nggak ada warna pastel atau foto profesional, siap-siap di-skip sama HR yang sudah kebanjiran e-mail.
Sudah gitu, ada yang namanya cover letter. Ini kayak surat cinta buat perusahaan, tapi sayangnya sering nggak dibaca.
Lalu, kamu harus bikin akun di platform pencari kerja yang semuanya mirip, cuma beda warna tema. LinkedIn biru, Jobstreet ungu, dan Glassdoor hijau. Tapi semua isinya sama: job listing yang kadang nggak sesuai ekspektasi.
Dulu, interview itu cuma sekadar ngobrol-ngobrol santai. HR tanya, "Kamu bisa menggunakan komputer nggak?" Kamu jawab, "Bisa, Pak." Langsung diterima.
Sekarang, interview itu seperti mini-drama. Ada panel yang isinya tiga sampai lima orang, masing-masing bawa pertanyaan jebakan.
Misalnya, "Kamu lihat diri kamu di mana lima tahun lagi?" Jika memberi jawaban sambil bercanda, "Di pantai sambil jualan kelapa," pasti bikin kamu gugur.
Terus ada lagi pertanyaan klasik, "Apa alasan kamu mau kerja di sini?" Kalau kamu jawab, "Karena saya butuh pemasukan untuk menghidupi keluarga," mereka bakal anggap kamu lebih mementingkan uang. Padahal sudah jawab jujur. Bye-bye juga.
Belum lagi kalau kamu harus ikut tes kerja. Kadang-kadang, tesnya nggak ada hubungannya sama posisi yang kamu lamar.
Mau jadi graphic designer, tapi tesnya disuruh bikin proposal marketing. Hah? Ada juga yang iseng kasih soal matematika SMA, padahal kamu cuma daftar jadi admin.
Sekarang ada banyak teknologi yang katanya mempermudah proses melamar kerja, tetapi kadang malah bikin stres.
Belum lagi budaya follow up. Zaman dulu, kamu tinggal nunggu telepon rumah. Sekarang kalau nggak follow up, dianggap nggak niat. Kalau terlalu sering follow up? Malah bikin HR ilfeel. Jadi kamu harus pintar-pintar membaca situasi, kayak main poker.
Melamar kerja zaman sekarang memang ribet, tapi ada sisi positifnya. Proses yang panjang dan melelahkan ini bikin kita lebih siap mental dan lebih terlatih untuk bersaing. Kamu belajar skill baru, dari membuat CV yang benar sampai cara bicara yang meyakinkan di depan panel HR.
Tapi ya, kadang tetap pengen bilang ke HR, "Boleh nggak sekali-sekali kita balik ke cara lama?" Atau minimal, potong satu putaran interview aja, biar hidup kita nggak kayak sinetron "Tersanjung" yang bisa bermusim-musim.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Melamar Kerja, Dulu vs Sekarang"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.