Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gregorius Aditya
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Gregorius Aditya adalah seorang yang berprofesi sebagai Konsultan. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film "Jumbo"

Kompas.com - 21/04/2025, 11:55 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Indonesia saat ini tengah menyambut hangat film animasi "Jumbo". Film yang digarap selama lima tahun dengan arahan sutradara Ryan Adriandhy dan kolaborasi Visinema Studios dengan Springboard, Anami Films, serta Unikom.

Apalagi pad proyek ini diketahui menggandeng hingga kurang lebih 400 pekerja kreatif yang termasuk di dalamnya musisi, visual artist, animator, penulis naskah, maupun technical engineer. 

Film tersebut diketahui meraup rekor hingga tembus dua juta penonton pada hari kesebelas pemutarannya.

Ryan Adriandhy sendiri mengakui bahwa penyusunan film ini seperti menyusun “kue lapis” dengan bertahap, penuh kesabaran, dan memerlukan perhatian terhadap setiap detail. 

Dalam pembuatannya, ia mengakui bahwa produksi animasi jauh lebih rumit dibanding film live action karena membutuhkan gambar demi gambar untuk menghasilkan gerakan halus. 

Proses ini melibatkan berbagai tahap mulai dari pembuatan sketsa, desain dunia, hingga pewarnaan dan pengisian suara. Apabila eksekusi satu tahap saja tidak berjalan mulus, film ini tentunya akan memiliki kecacatan di sana-sini.

Berdasarkan apa yang dialami film Jumbo, kondisi ini menyiratkan bahwa sebuah proyek animasi kolaboratif dapat sering kali melibatkan alih daya maupun produksi bersama dari sebagian karya ke studio lain, bahkan tidak menutup kemungkinan dalam sebuah proyek level internasional terkadang terjadi kolaborasi studio lintas negara atau benua. 

Meskipun pendekatan ini mampu meningkatkan skalabilitas produksi film animasi dan memanfaatkan berbagai kumpulan bakat yang tersebar secara global, pendekatan kolaboratif ini juga menimbulkan kompleksitas dalam koordinasi. 

Adanya sistem rantai pasokan (supply chain), dalam hal ini, menjadi sistem penting yang harus dikelola secara aktif untuk memastikan penyerahan aset yang lancar, kualitas yang konsisten, dan pengiriman produk secara tepat waktu.

Dalam konteks bisnis tradisional, istilah "rantai pasokan" (supply chain) biasanya memunculkan gambaran tentang barang fisik—bahan mentah, komoditas, gudang, armada logistik, dan pengiriman hingga tahap eceran.

Namun, di era digital, konsep supply chain telah berkembang.Bahkan di sektor yang murni kreatif seperti animasi, di mana produknya tidak berwujud dan "bahan mentahnya" adalah bakat dan data, sistem rantai pasokan tetap ada—meskipun sistem ini beroperasi dalam bentuk virtual yang lebih abstrak.

Pada film animasi, supply chain mengacu pada proses tingkat makro yang melibatkan bagaimana pergerakan tugas masing-masing divisi, aset, dan informasi di berbagai unit atau organisasi yang terlibat dalam produksi animasi dengan koridor berusaha memahami kebutuhan audiens dan membantu menciptakan budaya yang tepat sehingga daya tarik audiens dan orientasi tujuan program dapat tercapai. 

Supply chain ini di satu sisi mencakup tahapan proses produksi internal (pergerakan produk) seperti pengembangan konsep, pembuatan storyboard, modeling, layouting, animasi, pencahayaan, editing, dan pascaproduksi.

Namun, di sisi lain juga melibatkan proses eksternal berupa aliran fisik produk atau layanan dari hulu ke hilir dan aliran informasi dari hilir ke hulu baik informasi tentang produk maupun pasar (kebiasaan, minat, daya tarik, tren, hingga perilaku). 

Setiap tahapan ini dapat melibatkan departemen, tim, atau—terutama dalam proyek berskala besar—studio yang sama sekali berbeda masing-masing. Ketika proses ini didistribusikan ke banyak pihak, bagaimana pengelolaan aliran tugas, aset animasi, bahkan umpan balik dari pengerjaannya menjadi bentuk logistik digital.

Dengan membayangkan pada ekosistem kolaborasi film "Jumbo" yang digodok begitu lama, dapat terbayang bagaimana sistem supply chain yang kuat perlu terbangun agar sebuah film animasi dapat berhasil.

Adapun beberapa tantangan yang dapat secara potensial terjadi dalam masalah supply chain ini adalah sebagai berikut:

1. Masalah Bagaimana Mengontrol Versi Aset Terbaru

Salah satu masalah paling umum dalam alur kerja pipeline animasi kolaboratif adalah versi aset.

Ketika beberapa studio menangani model, rig, atau tekstur yang sama, sangatlah penting dimana kita perlu memastikan semua orang menggunakan versi aset terbaru dan telah benar-benar disepakati. 

Tanpa sistem kontrol versi aset yang tepat, file dapat terfragmentasi, tertimpa, atau bahkan hilang, yang menyebabkan pengerjaan ulang yang mahal dan penundaan waktu yang lebih lama.

Terlebih ketika harus merotasi sumber daya manusia dari satu studio atau pekerja kreatif ke pihak lainnya.

2. Timeline Pengerjaan yang Tidak Sinkron Antar Studio

Animasi secara produksi adalah produk dengan proses pembuatan linear. Sebuah aset animasi tentunya tidak dapat dilanjutkan hingga pemodelan dan rigging apabila belum dikatakan selesai maupun final pada kesepakatan pra produksi. 

Dalam pengaturan ekosistem kolaboratif, jika satu studio mengerjakan aset dengan tertunda, maka dapat berakibat seluruh rantai ekosistem akan terganggu.

Adanya ketidakselarasan ini sering terjadi karena komunikasi yang buruk, budaya kerja yang berbeda, atau tidak adanya kalender produksi yang terpadu serta disepakati bersama baik oleh vendor pekerja maupun tim manajemen produksi.

3. Potensi Arahan Artistik yang Tidak Konsisten

Dalam praktik produksi, sekalipun beberapa tim kreatif mampu menginterpretasikan satu visi, masih akan ada risiko tinggi ketidakkonsistenan estetika.

Hal ini sering kali mengakibatkan perbedaan visual antara adegan yang diproduksi oleh tim-tim dari studio-studio yang berbeda-beda. 

Masalah ini biasanya berasal dari dokumen arahan seni (Art Directing) yang tidak jelas atau referensi visual yang tidak memadai yang dibagikan antar tim.

Oleh karenanya, pihak rumah produksi, publisher, atau studio utama yang menjadi pemangku utama dalam manajemen proyek perlu membuat sebuah dokumen visual art yang disepakati semua pihak untuk mencegah kendala pada saat pembuatan aset sebelum film animasi diproduksi.

4. Ketidakcocokan Alat dan Software Antar Studio

Fakta lapangan yang sering terjadi adalah tidak semua studio menggunakan alat 3D yang sama maupun mengoperasikan dengan cara yang sama.

Beberapa studio mungkin lebih suka pada Blender, sementara yang lain mungkin menggunakan Maya, Houdini, atau alat 3D yang dikustomisasi menjadi milik sendiri. 

Tanpa adanya praktik ekspor-impor file yang terstandarisasi atau bagaimana pembuatan jembatan jalur produksi (seperti misal file format USD atau Alembic), maka pertukaran aset dapat menjadi sesuatu yang bermasalah, yang sering kali menyebabkan hilangnya data atau kesalahan konversi dan tidak sesuai dengan aset aslinya.

5. Sistem Transfer dan Penyimpanan Data yang Tidak Efisien

Proyek animasi menghasilkan data dalam jumlah besar yang disusun dari tekstur beresolusi tinggi, cache simulasi, dan pratinjau (preview) video. Jika suatu studio tidak memiliki sistem penyimpanan terpusat dan terukur, pertukaran aset ini dapat memakan waktu. 

Penundaan waktu transfer, kerusakan data, atau bahkan kehilangan aset bukanlah hal yang jarang terjadi, terutama di wilayah dengan infrastruktur internet yang tidak stabil. Oleh karenanya perlu ada kesepakatan mengenai bagaimana file disimpan dan ditransfer.

6. Alat Manajemen Proyek yang Seringkali Terfragmentasi

Para kolaborator proyek sangat mungkin menggunakan platform yang berbeda-beda untuk mengelola alur kerja masing-masing, mulai dari Shotgrid, Trello, Asana, Notion, dll. 

Pendekatan yang mandiri per studio ini dapat menyebabkan kebingungan tentang tenggat waktu, sistem pembagian serta kepemilikan tugas, dan kemajuan proyek. 

Kurangnya integrasi antara sistem ini dapat menyebabkan progress yang terduplikasi atau berulang secara tidak perlu maupun tenggat waktu yang terlewat. Hal ini dapat merugikan satu atau seluruh pihak dalam kolaborasi.

7. Bottleneck dari Komunikasi Umpan Balik

Tanpa sistem peninjauan terstruktur maupun operator administrasi yang mencatat proses, setiap komunikasi umpan balik cenderung dapat disampaikan secara informal (melalui chat aplikasi obrolan/media sosial pembawa pesan, rangkaian email yang tak berantai di seluruh pemangku kepentingan, atau panggilan telepon yang tak terekam) yang seringkali dapat disepelekan oleh pihak-pihak yang terlibat. 

Hal ini menciptakan kesenjangan dalam komunikasi, revisi yang disalahpahami, dan kesulitan dalam melacak keputusan mana yang sungguh dapat diambil, yang pada akhirnya menunda jadwal proyek dan merusak kendali mutu dari proyek.

Oleh karenanya, setiap percakapan bahkan itu dalam jalur informal, apabila itu melibatkan sebuah keputusan, harus ditegaskan untuk tetap tercatat oleh semua pihak agar tidak berlalu begitu saja.

8. Masalah Hukum dan Keamanan Hak Kekayaan Intelektual

Dalam lingkungan studio yang memiliki jalur distribusi, adanya data sensitif dan kekayaan intelektual tentu akan diteruskan melalui berbagai jaringan.

Tanpa sebuah sistem protokol yang kuat untuk enkripsi data, kontrol akses, dan Perjanjian Kerahasiaan (NDA/Non-Disclosure Agreement), suatu proyek mungkin rentan terhadap kebocoran atau penyalahgunaan—yang menambah risiko pada rantai pasokan kreatif.

Hal semacam ini perlu diantisipasi pemangku proyek terlebih apabila melibatkan rotasi studio yang begitu sering.

9. Standar Kualitas yang Tidak Selaras

Studio sering kali berbeda dalam mendefinisikan "selesai"-nya sebuah tahap proses. Apa yang lolos pemeriksaan kualitas (quality control) di satu studio mungkin dapat ditolak di studio lain. 

Masalah ini diperburuk ketika proses kontrol kualitas tidak diselaraskan di antara mitra studio. Dengan menetapkan tolok ukur universal untuk kualitas animasi yang hendak dituju sangat penting untuk menjaga konsistensi merek dan visual terlebih apabila dipegang berbagai studio.

10. Hambatan Bahasa dan Budaya

Dalam kerja sama skala internasional, kesalahpahaman yang sering kali muncul adalah akibat perbedaan bahasa atau isyarat yang disalahartikan.

Bahkan definisi istilah teknis antar studio mancanegara mungkin memiliki makna yang sedikit berbeda satu sama lain, yang menyebabkan kebingungan dalam pelaksanaan kecuali jika protokol komunikasi didefinisikan dengan jelas.

Oleh karenanya, komunikasi yang terbuka dan memahami perspektif masing-masing di awal tentang proses dan alur kerja perlu ditekankan.

11. Tantangan Zona Waktu 

Selain budaya, apabila terdapat kolaborasi dengan studio yang beroperasi di zona waktu yang berbeda, maka perbedaan waktu akan dapat secara nyata menjadi tantangan. 

Adanya umpan balik sederhana yang sebenarnya dapat diselesaikan dalam waktu satu jam saja misalnya, dapat berakhir dengan memakan waktu seharian penuh atau lebih karena studio lain berada di jam operasional berbeda. 

Adanya penjadwalan yang cermat, alat komunikasi bahkan yang sanggup pada level asinkron, dan komunikasi koordinator proyek sepanjang waktu sangat penting untuk mengelola hal ini.

12. Kurangnya Standarisasi Pipeline

Salah satu kondisi lapangan yang perlu dipahami adalah banyak studio mengembangkan alur kerja dan cara unik mereka sendiri untuk mengotomatiskan tugas atau mengelola proses. Meskipun adanya hal ini menawarkan fleksibilitas, kondisi ini menimbulkan masalah interoperabilitas saat bekerja dengan mitra eksternal.

Kurangnya logika alur kerja bersama ini akan membuat kolaborasi menjadi lebih rumit, sehingga meningkatkan hambatan di setiap langkah progres produksi.

13. Perencanaan yang Kurang Efektif untuk Render dan Posting

Jika pembuatan aset dan animasi dikirimkan tepat waktu, ini tidak menutup kemungkinan adanya antrian render dan proses pascaproduksi yang berpotensi dapat menjadi hambatan jika tidak diperhitungkan dalam jadwal awal. 

Rendering yang didistribusikan di berbagai fasilitas jasa render dengan spesifikasi tersendiri di tiap tempatnya juga dapat menimbulkan ketidakkonsistenan kecuali pengaturan render dikontrol dengan ketat. Ini membuat perusahaan pemangku utama, publisher, atau rumah produksi perlu memetakan bagaimana antisipasi efektivias untuk proses ini

14. Potensi Meremehkan Beban Masalah Administrasi

Proyek kolaboratif umumnya menimbulkan biaya tambahan administratif dalam bentuk rapat, dokumentasi, koordinasi, dan pemeriksaan silang hasil akhir (cross-checking quality control deliverables). 

Banyak produser kreatif seringkali meremehkan banyaknya pekerjaan administratif yang diperlukan untuk menjaga semuanya tetap pada jalurnya dan seringkali hanya meminta proyek segera selesai tanpa paham prosesnya, yang berujung pada kelelahan studio vendor atau adanya langkah-langkah yang terlewatkan.

15. Kurangnya “Studio Admin” yang Terpusat

Salah satu solusi yang sering diusulkan untuk mengatasi masalah-masalah di atas adalah pembentukan studio administratif terpusat atau tim manajemen utama yang membidani proyek sebagai perpanjangan tangan para pemangku kepentingan. 

Adanya tim ini akan sangat berguna dalam mengawasi penjadwalan, pelacakan aset, komunikasi antar-studio, dan jaminan kualitas, serta memastikan bahwa seluruh rantai pasokan kreatif beroperasi secara kohesif. Dengan bertindak sebagai otak konsorsium, studio ini dapat mengurangi sebagian besar hambatan terkait kolaborasi. 

Adanya sistem semacam ini perlu dipahami setiap pemangku kepentingan baik rumah produksi utama, publisher, hingga dalam ranah tertentu investor agar informasi yang ada tetap dapat terukur dan tidak simpang siur.

Penutup

Dalam produksi animasi, terutama dalam ekosistem kolaboratif, rantai pasokan (supply chain) tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan industri barang fisik lainnya seperti komoditas maupun manufaktur. 

Dalam ranah animasi, File menggantikan bahan mentah, adanya gudang layout hingga render menggantikan pabrik, dan server cloud menggantikan truk dan gudang—tetapi kebutuhan akan koordinasi, konsistensi, dan kontrol tetap sama pentingnya. 

Mengenali supply chain digital dan mengelola tantangannya secara proaktif dapat menjadi kunci untuk menghadirkan konten animasi yang sukses tepat waktu, sesuai anggaran, dan dengan integritas kreatif yang utuh.

Hal semacam ini ke depannya dapat melahirkan Jumbo-Jumbo lainnya bagi insan perfilman animasi di Indonesia.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tantangan Supply Chain Proyek Animasi Kolaboratif, Berkaca pada Film "Jumbo""

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film 'Jumbo'

Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film "Jumbo"

Kata Netizen
Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Kata Netizen
Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kata Netizen
Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kebijakan Tarif Trump dan Tantangan ke Depan bagi Indonesia

Kata Netizen
Film 'Jumbo' yang Hangat yang Menghibur

Film "Jumbo" yang Hangat yang Menghibur

Kata Netizen
Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Perang Dagang, Amerika Serikat Menantang Seluruh Dunia

Kata Netizen
Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Apa Kaitan antara Penderita Diabetes dan Buah Mangga?

Kata Netizen
Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Tiba-tiba Emas Ramai Dibeli, Ada Apa Ini?

Kata Netizen
Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kembalinya Fitrah Guru Mengajar Setelah Ramadan

Kata Netizen
Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Titiek Puspa dan Karyanya Tak Lekang Waktu

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau